Kamis, 10 April 2014

FILSAFAT ILMU






FILSAFAT ILMU
Jujun S. Suriasumantri




Drs.M.Suharsono, Msi


Di susun oleh :
Sri Sunarsih (F.131.11.0100)




UNIVERSITAS SEMARANG
FAKULTAS PSIKOLOGI
2012



I
Ke Arah Pemikiran Filsafat

1.        ILMU DAN FILSAFAT
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan keduanya. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa semuanya tidak pernah diketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacamm keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau.
Berfilsafat tentang ilmu berarti terus terang kepada diri sendiri, misalnya apakah yang saya ketahui tentang ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar?
Apakah Filsafat?
Seorang yang berfikir filsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tergadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kemestaan galaksi.
Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya.
Karakteristik Berfikir Filsafat Yang kedua yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar.
Karakteristik Berfikir Filsafat Yang ketiga adalah sifat spekulatif. Secara terus terang tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkankita tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendassar. Yang terpenting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan  spekulasi mana yang bisa diandalkan  dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Filsafat: Peneratas Pengetahuan
            Seorang yang skeptis akan berkata: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkahpun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatannya demikian, dan kesalah pahaman ini bisa segera di hilangkan, sekira kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pionir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada ilmu pengetahuan-pengetahuan yang lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bertolak dari pengembangannya bermula sebagai filsafat.
            Dalam perkembangannya filsafafat menjadi ilmu maka terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini  maka bidang menjelajah  filsafat lebih sempit, tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral.
            Pada tahap selanjutnya ilmu menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan mendaar sepenuhnya kepada hakikat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan ilmu masih mendasar kepada norma yang seharusnya, sedangkan pada tahap terakhir ini, ilmu mendasar kepada penemuan alamiah sebagaimana adanya.
Bidang Telaah Filasafat
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: Terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pwrtanyaan lain .Hal ini selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran maka filasafat ilmu menjadi “ngetop” ,sedangkan dalam masa-masa mendatang maka yang akan menjadi perhatian kemungkinan besar bukan lagi filasafat ilmi, melainkan filasafat moral yang berkaitan dengan ilmu.
Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filasafat sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang disadari bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Mungkin ada baiknya kita mengambil contoh yang agak berdekatan yakni ilmu ekonomi dan menajemen. Kedua ilmu ini menpunyai asumsi tentang manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin bisa. Sedangkan ilmu menejemen mempunyai asumsi lain tentang manusia sebab bidang bidang telaah ilmu menejemen lain dengan lain ekonomi. Ilmu ekonomi bertujuan menelaah hubungan manusia dengan benda/jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; dan menajemen bertujuan menelaah kerja sama anta rsesama manusia dalam mencapai suatu tujuan yang di setujui bersama.
Tahap yang kedua adalah pertanyaan yang berkisar tentang ada: tentang hidup dan eksistensi manusia
Cabang-Cabang Filasafat
Pokok permasalahan yang dikaji filasafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika) , mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk(etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek(estetika). Ketiga cabang filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni Teori tentang ada : tentang hakikat keberadaan zat,tentang pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika, dan kedua politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama itu kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik diantaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain:
1.      Epistemologi(Filsafat Pengetahuan)
2.      Etika(Filsafat Moral)
3.      Estetika(Filsafat Seni)
4.      Metafisika
5.      Politik(Filsafat Pemerintahan)
6.      Filsafat Agama
7.      Filsafat Ilmu
8.      Filsafat Pendidikan
9.      Filsafat Hukum
10.  Filsafat Sejarah
11.  Filsafat Matematika

Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi(filsafat pengetahuan) yang secaraspesifik mengkaji hakikakt ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keeilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:
-       Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang Hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek yang tadi dengan daya tangkap manusia(seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? ( Ontologis)
-       Bagaiman proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu? Bagaiman prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita dapat pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? Cara/teknik/saran apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? ( Epistemologi)
-       Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? ( Aksiologi)
Pengertian ilmu sebagai disiplin yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawaab dan kesungguhan.

II
Dasar-dasar Pengetahuan

1.        PENALARAN
Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuaaan-kekuasaannya. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal yang utama yakni:
1.      Manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut.
2.      Yang menyebabkan manusia mampu mengembaangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan  berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar caraberpikir seperti ini disebut penalara.
ilbahsa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu bernalar.
Manusia bukan semata-mata makhluk yang berpikir: sekedar Homo sapiens yang steril. Manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, mengindera; dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut; disamping wahyu: yang merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan makhlukNya.
Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir dan bukan dengan perasaan, meskipun sepertib dikatakan pascal, hati pun mempunyai logika sendiri
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda.
Sebagai suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat disebut logika.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berfikirnya. Kegiatan berfikir juga ada yang tidak bedasarkan penalaran umpamanya adalah intuisi. intuisi merupakan suatu kegiatan berfikir yang non analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berfikir tertentu.
Penalaran yang akan dikaji dalam studi ini pada pokoknya adalah penalaran ilmiah, sebab usaha kita dalam mengembangkan kekuatan penalaran merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi.
3.        LOGIKA
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimopulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”. Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penalaahan yang seksama hanya bersifat umm. Sedangkan di pihak lain kita mempunyai logika deduktif, yang membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (kusus).
Induksi merupakan cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya sebab mempunyai dua keuntungan. Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum bersifat ekonomis.keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun deduktif.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum di tarik kesinpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berfikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Contoh :
semua makhluk mempunyai mata                               (premis mayor)                                          
si polan adalah seorang makhluk                                (promis minor)
jadi si polan mempunyai mata                         (kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa si polan mempunyai mata adalah sah menurut penalaran deduktif,sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premia minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratanya tidak dipenuhi maka kesimpulan ditariknya akan salah.
4.        SUMBER PENGETAHUAN
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar.
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan paham rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis nadalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentutanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak  namun lewat pengalaman yang kongkret. Gejala-gejala alamiah menurut kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indera manusia.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontadiktif.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan panca indera sebagai alat yang menangkapnya. Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi pancaindera manusi bisa melakukan kesalahan. Contoh yang bisa kita lihat sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian terendam di dalam air akan kelihatan menjadi bengkok.
Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka ituisi ini tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataanyang dikemukaannya.
Wahyu merupakan pegetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenal kehidapn sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencangkup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Secara raional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun.
5.        KRITERIA KEBENARAN
Seorang anak kecil yang baru masuk sekolah, setelah tiga hari berselang, mogok tidak mau belajar. Orang tuanya mencoba membujuk dia dengan segala macam daya, dari iming-imingan gula-gula sampai ancaman sapu lidi, semuanya sia-sia. Setelah didesak-desak akhirnya dia berterus terang, bahwa dia sudah kehilangan hasratnya untuk belajar, sebab ibu gurunya adalah seorang pembohong. “Tiga hari yang lalu dia berkata bahwa 3+4=7. Dua hari yang lalu dia berkata 5+2=7. Kemarin dia berkata 6+1=7. Bukankah semuanya ini tidak benar?”
Permasalahan yang sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut terori kebenaran. Tidak semua manusiamempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar, termasuk anak kecil tadi, dengan pikiran yangb kekanak-kanakannya mempunyai kriteria kebenaran tersendiri. Bagi kita tidak sukar untuk menerima kebanaran bahwa 3+4=7; 5+2=7; 6+1=7; sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa ketiga pernyataan tersebut adalah benar.
Teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria terseut diatas disebut teori koherensi. Secara sederhana dapat disimpukan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si polan seorang manusia dan si polan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan keduanya adalah konsisten dengan pernyataan pertama.
Paham lain adalah kebenaran berdasarkan kepada teori korespondensi, dimana eksponen utamanya adalah Bertrand Russell (1872-1970). Bagi penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar. Jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi(berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran lain yang disebut teori kebenaran pragmatis.
Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersbut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, suatu pernyatan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam menentukan kriteria kebenaran sebagaimana disebutkan di atas.


III
Ontologi : Hakikat Apa Yang diKaji

6.        METAFISIKA
Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran fillsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluuncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka Metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya
Beberapa Tafsiran Metafisika
Tafsiran yang paling pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.
Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalisme yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural ini. Materialisme, yang merupakan paham berdasarkan naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Di sini kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut diatas. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.
Semua permasalahan ini telah menjadi bahan kajian dari ahli-ahli filasafat sejak dulu kala. Jadi pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filasafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua ini adalah sifat pragmatis dari ilmu.
7.        ASUMSI
Sekiranya hukum alam itu memang benar-benar tidak ada maka tidak akan ada permasalahan dengan determinisme, probabilistik atau pilihan bebas. Dengan demikian maka tidak ada masalah tentang hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume, atau IQ dengan keberhasilan belajar. Alhasil lalu ilmu itu sendiri pun tidak ada sebab ilmu justru mempelajari hukum alam seperti ini.
Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ni maka pembicaraan kita semuanya lantas sia-sia, tukas teoritikus filasafat ilmu. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulang kali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum itu, seperti kata Coca Cola, berlaku kapan saja dan dan dimana saja.
Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filasafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah sebenarnya yang akan dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelejari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosoal, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka? Atau bahkan mungkin juuga kita mempelajari hal-hal yang berlaku  umum melainkan cukup mengenai  tiap individu  belaka?
Konsekuensi dari pilihan ini adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruhmanusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik.
8.        PELUANG
Berdasarkan teori-teori keilmuwan saya tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian, tanya seorang awam kepada seorang ilmuwan. Ilmuwan itu menggelengkan kepalanya, Tidak, jawab ilmuwan itu sambil tersenyum apologetik, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Jadi berdasarkan meteorologi dan geofisika saya tidak pernah merasa pasti bahwa esok hari akan hujan atau tidak akan hujan, sambung orang awam kita, kian penasaran Tidak, jawab ilmuwan kita, tetap tersenyum sebab dia termasuk kepada golongan “orang yang tahu ditahunya dan tahu ditidaktahunya”. Jadi tidak pernah groggy bila diserang: Saya hanya bisa mengatakan, umpamanya, bahwa dengan probabilitas 0.8 esok tidak akan turun hujan.
“Apa artinya peliang 0.8 ini?” tanya orang awam. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk turun hujan esok adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Atau sekiranya saya merasa pasti (100 persen) bahwa esok akan turun hujan maka saya akan berikan peluang 1.0. atau dengan perkataan lain yang lebih sederhana peluang 0.8 mencirikan bahwa pada 10 kali ramalan tentang akan jatuh hujan, 8 kali memang hujan itu turun, dan dua kali ramalan itu meleset
Jadi, biarpun kita mempunyai peluang 0.8 bahwa hari ini akan hujan, namun masih terbuka kemungkinan bahwa hari tidak akan hujan?
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi saudara untuk mengambil keputusan, dimana keputusan saudara harus  didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan saudara dan bukan pada teori-teori keilmuwan.
Oleh sebab itu sekiranya kita mempunyai pengetahuan ilmiah yang menyatakan bahwa”sekiranya hari mendung maka terdapat peluang 0.8 akan turun hujan”, maka pengetahuan itu harus kita letakkan pada permasalahan hidup kita yang mempunyai perspektif dan bobot berbeda–beda.
9.        BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU
Katakanlah kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Tarik garis kesana, buat garis kesini, hitung berapa besar sudut yang menyilang, hitung berapa panjang garis berhadapan. Analisis seperti ini kita lakukan untuk membuat konstruksi kayu bagi atap rumah kita.
Ternyata masalah yang dihadapi arsitek-arsitek amuba berbeda dengan kita. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus seperti pipi wanita yang sudah di make_up, melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta karya.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti ada sebenarnya bidang datar itu. Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar tapi namun bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu ilmu sekadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan prakis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan itu adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan. Namun bagi amuba asumsi ini jelas tak dapat diterima sebab secara praktis bagi mereka permukaan kayu yang mereka hadapi bukanlah bidang datar melainkan permukaan yang bergelombang.
Dalam analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis utama yakni zat, gerak, ruang, dan waktu. Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuwan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoretis. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya”bukan ”bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaahan ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaahan moral.
Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dan analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuwan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
10.    BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan ke jurang mala petaka.
Ruang penjelajahan keilmuwan kemudian kita menjadi “kapling–kapling” berbagai disiplin keilmuwan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan perkembangan kuantitatif disiplin keilmuwan. Kalau pada fase permulaan hanya terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy) maka dewasa ini  terdapat lebih dari 650 cabang keilmuwan.
Cabang-Cabang Imu
Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filasafat alam yang kemudian mejadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filasafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilumu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu bumi (atau the earth sciences yang mempelajari bumi kita ini).
Tiap-tiap cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika,hidrodinamika,bunyi,cahaya,panas, kalistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk ke dalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara)
Disamping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni,filsafat,agama,bahasa dan sejarah. Matematika, seperti akan kita pelajari lebih lanjut,bukan merupakan illmu, melainkan cara berpikir deduktif.


IV
Epistemologi : Cara Mendapatkan Pengetahuan yang Benar

11.    JARUM SEJARAH PENGETAHUAN
Pada masyarakat primitif, pembedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang kemasyarakatan maka status itu tetap, kemana pun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu.
Jadi sekali menjadi seorang ahli maka seterusnya dia akan menjadi seorang ahli. Seorang ahli di bidang peternakan ayam akan dianggap ahli dalam masalah perkawinan, kebatinan, perdagangan, ekonomi, seks, kenakalan remaja dan entah apa saja.
Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan yang lain. Antara ujud yang satu dengan yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad yang ke-17.
Jadi adalah wajar saja kalau dalam kurun waktu itu tidak terdapat pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang kita ketahui adalah pengetahuan. Dengan perkembangannya Abad Penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan.
Salah satu cabang pengetahuan itu yang aberkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi metodenya. Metode keilmuwan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari ilmu apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.
Secara metafisik ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Makin ciutnya kapling masing-masing disiplin keilmuwan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi demikian banyak dan bersifat jelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang yang ingin memutar jarum sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas otonomi masing-masing disiplin keilmuwan.
Pendekatan inter-dislipiner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuwan yang telah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seprti logika, matematika, statistika dan bahasa.
12.    PENGETAHUAN
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka kita harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaaan tertentu harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya “apakah yang akan terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri dari pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencangkup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi komputer maka komputer ilmu tidak diprogramkan untuk itu.
Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan utuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkungan pengalaman kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkann berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu, dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Oleh sebab itulah, sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang cocok. Persoalan utama yang dihadapi oleh atiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bgaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan  aspek ontologi dan aksiologi masing-masing.
Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendiskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba mengunmgkapkan obyek penelaah itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka meressapinya, seperti pikiran, emosi, dan pancaindera. Seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia perseorangan”.
Seni terpakai pada hakikatnya mempunyai dua ciri yakni pertama, bersifat deskriptif dan fenomenologis dan kedua, ruang lingkup terbatas. Sikap deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang menititk beratkan kepada penyilidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan untuk pengembangan postulat yang bersifat teoritis-atomistis. Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak pengetahuan-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradaban lain pengembangannya bersifat kualitatif, artinya di kembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis.
Ilmumencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjalasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran  yang bersifat rasional dan metafisis. Pengkajian ilmu yang sekedar pada kulit luarnya saja tanpa berani mengemukakan postulat-postulat yang bersumber penafsiran metafisis tidak akan memungkinkan kita sampai kepada teori fisika nuklir.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuanlainnya mencapai kulminasi abad IX dan XII Masehi. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan terotis apakah seusai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif. Dalam bagan pohon silsilah logika dapat dilihat perkembangan logika ilmiah yang merupakan pertemuna antara rasionalisme dan empirisme.
Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan.
13.    METODE ILMIAH
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karateristik-karateristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusuunnya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu maka dipergunakan pula cara berpikir induktif  yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan  dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Dilihat dari perkembangan kebudayaan maka sikap manusia dalam menghadapi masalah dapat dibedakan menurut ciri-ciri tertentu. Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah ini maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni tahap mistis, tahap antologis, dan tahap fungsional.
 Yang dimaksudkan dengan tahap mistis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap antologis adalah sikap manusia yang tidak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari obyek disekitarnya serta memulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap obyek tersebut. Sedangkan tahap fungsional adalah sikap manusia yang bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap obyek-obyek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itudia memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya. Tahap fungsional ini dibedakan dengan tahap antologis, sebab belum tentu bahwa pengetahuan yang didapatkan pada tahp antologis ini, dimana manusia mengambil jarak terhadap obyek disekitar kehidupan dan mulai menelaahnya, mempunyai manfaat langsung terhadap kehidupan manusia.
Ilmu mulai berkembang pada tahap antologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris.Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut maka ilmu tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan penalaran.
Secara antologis maka ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hari kemudian atau surga dan neraka yang jelas berada diluar pengalaman manusia. Agama, berbeda dengan ilmu, mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada diluar pengalaman manusia,baik sebelum manusia ini berada di muka bumi seperti mengapa manusia di ciptakan, maupun  sesudah kematian manusia, seprti apa yang terjadi setelah adanya kebangkitan kembali. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan berbedanya metode dalam memecahkan masalah tersebut. Pada satu pihak agama akan memberi landasan moral bagi aksiologi keilmuwan sedangkan di pihak lain ilmu akan memperdalam kenyakinan beragama.Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula.
Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Disini pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus mempunyai dua syarat utama :
a.       Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
b.      Harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh penguji empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana raasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi. Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai petunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena alam itu sendirimembisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan.
Sering kita temuikesalah pahaman dimana analisis ilmiah berhenti pada hipottesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukanverifikasi apakah hipotesis ini benar atau tidak. Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambilpremis-premis dari pengetahuan ilmiahyang sudah diketahui sebelumnya. Sebenarnya dalam proses penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berpikirnya adalah deduktif, kegiatannya tidaklah sama sekali terbebas dari proses induktif.
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Proses pengujian ini, seperti telah kita singgung sebelumnya, merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara langsung dengan panca indera kita. Kadang-kadang kita memerlukan instrumen yang membantu pancaindera kita umpamanya teleskop dan mikroskop.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiahdapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logic-hypothelico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor terkait didalamnya.
2.      Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
3.      Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4.      Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5.      Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotensis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Langkah-langkah yang telah kita sebutkan diatas harus dianggap sebagai patokan utama dimana dealam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang berbagai variasi sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti. Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode pengetahuan lainnya, menurut Jacob Bronowski adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan eksplisit.
Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu merupakan pengetahuan milik umum (public knowledge) dimana teori ilmiah yang ditemukan secara individual dikaji, diulangi, dan dimanfaatkan secara komunal. Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Metode ilmiah ini pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin keilmuwan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Metode ilmiah ini tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk kedalam kelompok ilmu. Meskipun demikian beberapa aspek dari pengetahuan tersebut dapat menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya umpamanya saja aspek pengajaran bahasa, sastra dan matematika. Peneletian merupakan pencerminan secara kongkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuannya.
Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian sesuai dengan tahap perkembangan keilmuwan yang masih sedang berjalan. Sifat pragmatis dari ilmu inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakikat ilmu. Dalam perspektif inilah maka penelitian terhadap ilmu tidaklah ditentukan oleh kesahihan teorinya sepanjang zaman melainkan terletak dalam kemampuan memberikan jawaban terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradapan tertentu. Namun masalah ini menjadi sangat lain bila dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat sasi dimana manusia membutuhkan adanya kemutlakan dan bukan sekadar kesementaraan yang bersifat relatif. Dalam mempertanyakan eksistensi dirinya, tujuan hidupnya serta berbagai hal yang bersifat asasi lainnya maka manusia membutuhkan pasangan yang lebih mantap. Dalam hal ini maka ilmu dengan segala atributnya tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusia harus berpaling kepada sumber lain yakni agama. Ilmu tidak berwenang menjawabnya sebab hal ini berada diluar bidang penelaahannya.
Demikian juga ilmu yang makin terspesialisasikan menyebabkan bidang pengkajian suatu disilpin keilmuan makin sempit yang ditambah dengan berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti postulat, aasumsi dan prinsip membikin lingkup penglihatan keilmuan semakin bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation professionalle. Jadi pada hakikatnya penglihatan ilmu bersifat sempit dan sektoral yang mendorong manusia untuk melakukan pendekatan multi-displiner terhadap sebuah permasalahan.
14.    STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH
Pengetahuan yang di proses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifaat kumulatif dimana penemuan pengatahuan ilmiah  yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan sedikit demi sedikit dimana para ilmuwan memberikan sumbangannya menurut kemampuannya. Tidaklah benar anggapan bahwa ilmu dikembangkan hanya oleh para jenius saja yang bergerak dalam bidang keilmuan. Ilmu secara kuantitatif dikembangkan oleh masyarakat keilmuan secara keseluruhan, meskipun secara kualitatif beberapa orang jenius seperti Newton atau Einstein, merumuskan landasan-landasan baru yang bersifat mendasar.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbgai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol  agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah memiliki tiga fungsi yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tannum possumus, ujar fancis Bacon, quantum scimus! (kita dapat melakukan sesuatu sebatas yang kita tahu!).
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan genetik. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberi kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti “kemungkinan”, “kemungkinan besar” atau “hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu daru sebuah disiplin keilmuan. Tujuan akhir dari setiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namunhal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataannya yang menyatakan hubungan antara dua variabel  atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Pernyatan yang mencakup hubungan sebab akibat ini, atau dengan perkataan lain hubungan kasualita, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab.
Teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita  untuk meramalkan “apa” yang terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan “alat” yang dapat kita pergunakan utuk mengontrol gejala alam. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya harus bersifat universal.
Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh dimana teori-teori yang mempunyai tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat keseluruhan teori-teori tersebut. Ilmu teoretis, meminjam definisi Moritz Schlick, terdiri dari sebuah sistem pernyataan. Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar terpadu secara utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang mempersatukan yaitu teori.
Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin “teoretis” konsep tersebut.  Makin teoretis diartikan dengan sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata.
Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya maka pengembangan hukum-hukum ilmiah  sukar sekali dilakukan dan “pada hakikatnya telah ditiggalkan”. Untuk tujuan meramalkan, ilmu-ilmu sosial mempergunakan metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan. Disamping hukum maka teroi keilmuan juga mengenal kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat sebuah gejala.
Beberapa disiplin keilmuan ssering mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyususn teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang keberadaannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metod keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melaui prosedur ini melainkan ditetapkan begitu saja. Secara filsafati sebenarnya eksistensi postulat ini tidak sukar untuk dimengerti.
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan yang baru yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penilitian murni atau penelitian dasar. Sedangkan penelitian  yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahka masalah kehidupan yang bersifat praktis dinamakan penelitian terapan.
Manusia disebut juga Homo faber (makhluk yang membuat peralatan) disamping homo sapiens (makhluk yang berfikir) yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoritis dengan teknologi yang bersifat praktis. Berbeda dengan pengatahuan lainnya seperti seni yang bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya. Meskipun pada tahap embrional pengembangan ilmupun pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangan ke arah kedewasaannya serta kemampuan bidang penerapannya, maka ilmu harus dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segu kemampuannya untuk memecahkan masalah. Mochtar Lubis bahwa persamaan dan perbedaan ilmu dengan seni patut diketahui dengan seksama dalam rangka meningkatkan sikap ilmiah bangsa Indonesia dan mengingat sikap kita yang masih beroeriantasi kepada nilai estetis. Dalam buku Nitisastra, yang diperkirakan Profesor Poer Bacaraka ditulis pada akhir zaman Majapahit, disebutkan bahwa salah satu musuh bagi orang muda dalam menuntut ilmu adalah “gila samara”.




 V
Sarana Berpikir Ilmiah


15.    SARANA BERPIKIR ILMIAH
            Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Manusia sering disebut sebagai Homo Faber. Makhluk yang membuat alat dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh pengatahuan. Berkembangnya pengetahuan tersebut juga memerlukan alat-alat untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berfikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratut dan cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilimiah dlam berbagai langkah yang harus ditempuh.
Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang terbentuk pula. Sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, atau dengan perkataan lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secraa menyeluruh. Sarana berpikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi sendiri artinya kita mempelajari saran berpikir ilmiah ini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengethuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua, tujuan mempelajari sarana il;miah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk memdapatkan pengetahuannya yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan metode ilmiah.
Untuk dapat melakuakan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komukasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola pikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif ini, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakikatnya merupaka pengumpulan fakta untuk memdukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula salah satu langkah kearah penguasaan tu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah tersebut.

16.    BAHASA
            Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak papda kemampuan berbahasa. Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal simbolikum, makhluk yang yang mempergunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas daripada homo sapiens yakni makhluk yang berpikir,sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Tanpa kemampuan berbahasa ini maka manusia tak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Tanpa bahasa “simpul aldous huxley” manusia tak berbeda dengan anjing atau monyet.
            Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalamkegiatan ilmiah. Demikian juga tanpa bahasa maka kita tak dapat mengkomunikasika pengetahuan kita kepada orang lain. Bahasa memungkin manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbil bahasa yang bersifat abstrak.
            Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut bahsa memberikan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistematik. Transformasi objek faktual menjadi sombol abstrak yang diwujudkan lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkai oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan. Bahasa mengkomunikasikan tiga hal yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap. Atau sperti dinyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikaso estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif ini.
            Bahsa dapat kita cirikan sebagai serangkaina bunyi. Dalam hal ini kit amempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Manusia mempergunakan bunyi  sebagai alat komunikasi yang paling utama. Komunikasi dengan memperguanakan bunyi ini dikatakan juga sebagai komunikasi verbal, dan manusia yang bermasyarakat dengan alat komunikasi bunyi, disebut juga sebagai masyarakat verbal. Bahasa merupakan lambang dimana rangkaina bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita sebagai kata melambangkan suatu objek tertentu umpamanya saja gunung atau seekor burung merpati. Perkataan gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang kita berikan kepada dua objek tersebut.
            Manusia mengumpulkan lambang-lambang dan menyususn apa yang kita kenal sebagai pembendaharaan kata-kata. Pembendaharaan pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka. Artinya dengan pembendaharaan kata-kata yang mereka punyai maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran mereka. Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut, para ilmuwan, pendidik, ahli politik, remaja dan bahkan tukang copet. Namun itulah kenyataannya, tiap profesi bahkan copet sekalipun mengembangkan bahasa yang khas untuk kelompoknya. Yang paling menonjol biasanya adalah para remaja yang memperkaya pembendaharaan bahasa dengan semangat mereka yang kreatif dan lugu. Adanya lambang-lambang yang memungkinkan manusia dapat berpikir dan belajar dengan lebih baik.
            Adanya bahasa ini memungkinkan kita memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun objek yang sedang kita pikiran tersebut tidak berada didekat kita. Dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan kepada orang lain. Dengan bahasa kitapun dapat mengekspresikan sikap dan perasaan kita. Seorang bayi bila dia sudah kenyang dan hatinya pun sangat senang, dia mulai membuka suara. Tidak terlalu enak memang, tetapi tidak apa, sebab kalau dia mulai besar kelak dan sudah belajar do-re-mi-fa-sol-la-si-do, bunyi yang dihasilkannya mungkin akan jauh lebih menyenangkan. Lewat seni suara dia akan mengekspresikan perasaannya, kedukaan dan kesukaan lewat liku nada kata-kata.
            Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dlam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Pengalaman mengajarkan kepada manusia bahwa hidup seperti ini kurang bisa diandalkan dimana eksistensi hidupnya sangat tergantung pada faktor-faktor yang sukar dikontrol dan diramalkan. Menurut Sigmun Freud, kebudayaan membentuk manusia dengan menekan dorongan-dorongan alami mereka, mensublimasikannya menjadi sesuatu yang berbudaya yang kemudian merupakan dasar bagi pembentukan kebudayaan. Kebudayaan mempunyai landasan-landasan etika yang menyatakan mana tindakan yang baik mana yang tidak. Lewat bahasa manusia menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam dalam berbagai teori seperti elektronik, termodinamik, relativitas, dan quantum. “ pengetahuan adalah kekuasaan” seru francis bacon, dan dengan kekuasaan ini manusia mencoba mengerti hidupnya. Manusia tidak mau lagi dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya.
            Dengan ini manusia memberi arti kapada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai  arti bahkan kekuatan. Kekuatan dalam tuah mantera dan jampi-jampi. Kekuatan dalam kepercayaan dan keyakinan moral. Kekuatan yang memberinya dorongan dan arah dalam berkehidupan. Semacam pegangan yang membedakan mana yang suci dan luhur, mana yang rendah dan menghinakan. Tanpa bahasa maka semua ini tak mungkin ada. Seni merupakan kegiatan estetik yang banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal ini bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu senderi melainkan juga merupakan ramuan untuk menjelmakan pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastik, seperti kita membuat patung dari tanah liat, dimana komunikasi yang terjadi mempunyai kecenderungan emotif. Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain dengan komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bisa si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang berupa x pula.
            Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara  tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran secara jelas. Kalau kita teliti lebih lanjut maka kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan suatu pernyataan. Pernyataan itu melambangkan suatu pengetahuan yang ingin kita komunikasikan kepada orang lain. Bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi  yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam kenyataan hal ini tidak mungkin bahasa verbal, mau tidak mau tetap mengandung ketiga unsur yang bersifat emotif, afektif, dan simbolik. Inilah salah satu kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah, yang dikatakan oleh kemeny, sebagai mempunyai kecenderungan emosional. Bahasa ilmiah pada hakikatnya haruslah bersifat obyektif tanpa mengandung emosi dan sikap, atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik  dan reproduktif. Kekurangan yang kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung  oleh kata-kata yang membangun bahasa. Kelemahan yang lain dari bahasa adalah konotasi yang bersifat emosional seperti telah kita bicarakan pada bagian terdahulu.
            Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ahli filsafat modern. Kekacauan dalam filsafat menurut Witt
Genstein, disebabkan karena “ kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka untuk menguasai logika bahasa “. Pengkajian filsafat, termasuk pengkajian hakikat ilmu, pada dasarnya merupakan analisis logico-linguistik. Bagi aliran filsafat tertentu, seperti filsafat analitik, maka bahasa bukan saja merupakan “ bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil akhir dari filsafat. Ahli filsafat seperti Henri Bergson ( 1859-1941 ) membedakan antara pengetahuan yang bersifat absolut yang didapat lewat perantaraan bahasa. Pengetahuan yang hakiki bukan didapat lewat penalaran melainkan lewat intuisi tanpa diketahui kita sudah sampai disana, dengan kebenaran yang membukakan pintu, entah dari mana datangnya. Dan bahasa, menurut whitehead, “berhenti di belakang intuisi “.

17.    MATEMATIKA
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Bahasa verbal seperti telah dilihat sebelumnya mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubuur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibikin secara artifisal dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian kita.
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang mungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Matematika menjadi sarana berpikir deduktif, karena dalam proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segetiga tersebut kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Perkembangan matematika ditinjau dari ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Dalam tahap yang kedua kita mulai melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif  di mana kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuranyang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu. Matematika merupakan pengetahuan yang di sususn secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Disamping sarana berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Matematika digunakan sebagai cara untuk menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Kriteria kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu matematika bersifat tunggal, logika, jamak.
Dalam bagian terdahulu telah disebutkan dua pendapat tentang matematika yakni dari Immanuel Kant (1724-1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori dimana eksistensi matematika tergantung dari panca indera serta pendapat dari aliran yang disebut logistik yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris. Akhir-akhir ini filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum baru dalam aliran yang disebut intuisionis dengan eksponen utamanya adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan Brouwer (1881-1966). Aliran yang ketiga  yang dipelopori  oleh David Hilbert (1862-1943)dan terkenal dengan sebutan  kaum formalis. Tesis utama kaum logistik adalah bahwa matematika murni merupakan cabang dari logika. Tesis ini mula-mula dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848-1925) yang menyatakan bahwa hukum bilangan (the law of number) dapat direduksikan dalam proposisi-proposisi logika. Russell dan Whitehead, dalam bukunya Principia Mathematica, melangkah lebih jauh dari Frege dan mencoba untuk membuktikan bahwa matematika seluruhnya dapat direduksikan kedalam proposisi logika.
Pengetahuan tentang bilangan, kata frege merupakan pengertian rasional yang bersifat apriori, yang kita pahami lewat “mata penalaran” (the eye of reason) yang memandang jauh ke dalam struktur hakikat bilangan. Hakikat sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan intuitif dalam berhitung (counting) dan menghitung (calculating). Dengan demikian maka pernyataan George Cantor (1845-1918) yang menyatakan bahwa lebih banyak bilangan nyata(real number) dibandingkan bilangan asli(natural number) ditolak oleh kaum intuisionis. Hal ini menyebabkan banyak sekali bagian dari matematika yang secara kumulatif telah diterima harus ditolak, dan matematika itu sendiri harus ditulis kembali secara rumit sekali.
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Sekitar 3.500 tahun S.M. bangsa mesir kuno telah mempunyai simbol yang melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama, yang melakukan pengukuran pasang surutnya sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir, seperti apa yang sekarang dilakukan di abad ke 20 dikota metropolitan jakarta. Matematikan merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal  yang bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan usaha tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar. Matematika makin lama makin bersifat  abstrak dan esoterik yang makin jauh dari tangkapan orang awam  magis dan misterius  seperti mantere-mantera pendeta mesir kuno.
Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Penduduk kota yang pertama “makhluk yang berbicara(talking animal), kata Lancelot Hogben, dan penduduk kota kurun teknologi ini adalah “makhluk yang berhitung”(calculating animal). Bagi ilmu itu sendiri matemayika menyebabkan perkembangan yang sangat cepat. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memingkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh. Singkatnya, bagi bidang keilmuan modern, matematika adalah sesuatu imperatif : sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan, apa pun juga bidang pengkajiannya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif. Ilmu kualitatif  adalah masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif; dimana ilmu yang sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan mendewasa. Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupakan penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat-kalimat yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari tiap pengetahuan apakah itu ilmu, filsafat atau agama semuanya mempunyai karakteristik yang sama sederhana dan jelas transparan bagai kristal kaca.

18.    STATISTIKA
            Peluang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani kuno, Romawi dan Eropa dalam abad pertengahan. Teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana muslim namun bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini berkembang. Ilmu secara sedehana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual, ddimana konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindera, maupun dengan mempergunakan alat-alat yang membantu pancaindera tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan lainnya. Pengujian merupakan suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hepotesis yang diajukan.hepotesis didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Dan sebaliknya jika hepotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
            Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Yang dapat dikatakan adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak. Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Statistika berfungsi meningkatkan ketelitian pengamatan dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghadirkan hubungan semu yang bersifat kebetulan. Statistika memberikan sifat yang pragmatis kepada penelahaan keilmuan; dimana dalam kesadaran bahwa suatu kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai, berpendirian bahwa suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dapat diperoleh.            Penarikan kesimpulan secara statistika memungkinkan untuk melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis, di mana tanpa statistika hal ini tak mungkin dapat dilakukan. Atau dipihak lain, kita melakukan penarikan kesimpulan induktif secara tidak sah, dengan mengacaukan logika induktif dengan logika deduktif. Logika lebih banyak dihubungkan dengan matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, hanya logika deduktif yang hanya berkaitan dengan matematika sedangkan logika induktif justru berkaitan dengan statistika. Hal ini menimbulkan kesan seakan-akan fungsi matematika lebih tinggi dibandingkan dengan statistika dalam penelaahan keilmuan. Secara hakiki statistika mempunyai kedudukan  yang sama  pentingnya dalam penelaahan keilmuan.  Pada sustu pihak, jika terlalu mementingkan logika induktif maka kita mundur kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah peradaban manusia  telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode ilmiah yang mendasarkan diri kepada keseimbangan maka harus dijaga pula keseimbangan antara pengetahuan tentang matematika dan statistika. Pendidikan statistika harus ditingkatkan agar setaraf dengan matematika. Karena hal ini bukan saja mencakup aspek-aspek teknis namun lebih penting lagi  mencangkup pengetahuan mengenai hakikat statistika dalam kegiatan metode ilmiah secara keseluruhan. Pendidikan statistika menurut Ferguson  pada hakikatnya adalah pendidikan dalam metode ilmiah.
            Berpikir deduktif merupakan suatu hal yang pasti, dimana jika kita mempercayai premis-premis yang dipakai sebagai landasan penalarannya, maka kesimpulan penalaran tersebut juga dapat kita percayai kebenarannya sebagaimana kata mempercayai premis-premis terdahulu. Hal ini tidak berlaku dalam kesimpulan yang ditarik secara induktif, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaraninduktifnya adalah sah, namun kesimpulannya mungkin saja salah. Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik.
            Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar teori statistika adalah teori peluang. Teori peluang merupakan cabang dari matematika sedangkan statistika merupakan disiplin tersendiri. Statistika dapat dibedakan sebagai statistika teoretis dan statistika terapan. Statistika teoretis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar teori statistika, dimulai dari teori penarikan contoh, distribusi, penaksiran, dan peluang. Statistika penerapan merupakan penggunaan statistika teoretis yang disesuaikan dengan bidang tempat penerapannya. Statistika harus mendapatkan tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik. Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan.


VI
Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu


19.    ILMU DAN MORAL
            Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dakaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Dipihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam prespektif yang berbeda. Ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait antara hutan gundul dan hutan banjir. Dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Secara filsafati dapat dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan  pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.
            Dihadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertamamenginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua sebaliknya berpendapat nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia adalah ketika menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.

20.          TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
            Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya. Fungsi selaku ilmuwan tidak berhenti pada penalaahan dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Semua penelaahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya dengan proses pengambilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Seorang ilmuwan harus tampil kedepan dan berusaha mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Seorang ilmuwan terpanggil dalam tanggungjawab sosial mengenai suatu hal karena mempunyai kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan yang dimiliki.
            Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin menemukan alternatif dari obyek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan nonproduktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Dengan kemampuan pengetahuan seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Karakteristik lain dari ilmu terletak dalam cara berpikirr untuk menemukan kebenaran. Pikiran manusia bukan saja dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan  kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yany tidak benar. Eorang manusia biasa berdalih untuk menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sistmatis dan meyakinkan.
            Kelebihan seorang ilmuan dalam berpikir secara teratur dan cermat  inilah yang menyebabkan mempunyai tangggung jawab sosial. Ketika berbicara kepada masyarakat sekitarnya harus mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, apa yang membuat mereka keliru, dan lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yanag baik.
            Dibidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Dan harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan kalaun perlu beranai mengakui kesalahan. Semua sifat ini, beserta sifat-sifat lainnya yang tak disebutkan merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain disamping kebenaran keilmuan yang melengkapi hata manusia  yang hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat medern itu akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari dari padanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.

21.    NUKLIR DAN PILIHAN MORAL
            Pada tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D. Rooveselt yang memuat rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom ataom. Sebagai ilmuwan yang menemukan rumus E=mc2 yang menjadi dasar bagi pembuatan bom atom yang dasyat itu, Einstein merupakan orang lebih tahu mengenai akibat dari saran yang dikemukakannya, baik secara fisik maupun secara moral.
            Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang dipergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para ilmuwan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya manusia memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama, dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.
Salah satu musush kemanusiaan yang besar adalah peperangan. Perang menyebabkan kehancuran, pembunuhan dan kesengsaraan. Tugas ilmuwanlah untuk menghilangkan atau mengecilkan terjadinya peperangan ini meskipun hal ini merupakan sesuatu hal yang mustahil terjadi. Perang merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sukar untuk dihilangkan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslhakatan masyarakat atau sebaliknya dapat disalahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan  kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan maka apa yangharus dia lakukan? Apakah dia menyembunyikan penemuan tersebut sebab dia merasa bahwa penemuan itu lebih banyak menimbulkan kejahatan dibandingkab dengan kebaikan? Ataukah dia akan bersifat netral dan menyerahkannya  kepada moral krmanusiaan untuk menentukan penggunaannya?
Menghadapi masalah tersebut majalah Fortune mangadakan angket yang ditujukan kepada para ilmuwan  di Amerika Serikat. Angket tersebut menyimpulkan bahwa 78 persen ilmuwan di perguruan tinggi , 81 persen ilmuwan di bidang pemerintahan dan 78 persen ilmuan dalam industri berkeyakinan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan-penemuan apa pun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apa pun juga yang akan jadi konsekuensinya.
Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya bahwa ilmu pengetahuan merupakan  rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak melalui loncatan-loncatan yang tidak berketentuan  melainkan melalui proses komulatif secara teratur. Usaha menyembunyika kebenaran bagi proses kegiatan ilmiah  merupakan kerugian dalam kemajuan ilmu pengetahuan seterusnya. Dalam penemuan ini maka ilmu pengetahuan itu berssifat netral.
Dalam netral inilah ilu pengetahuan terebas dari  nilai-nilai yang mengikat. Dalam sapek-aspek lainnya seperti apa yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu dipergunakan mau tidak mau seorang ilmuwan terikat secara moral dalam artian mempunyai peferensi dan memilih pihak, dalam menentukan masalah  apa yang telah ditelaahnya maka seorang ilmuwan secara sadar atau tidak sudah menentukan pilihan moral. Hal ini bahkan menjorok sampai penyusunan hipotesis. Walaupun begitu maka dalam hasil penemuan akhirnya seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan sesuatu.
Seorang ilmuwan yang atas landasan moral memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi (dia terikat pada generasi muda) atau membuktikan bahwa hasil pembangunan itu efektif (dia terikat kepada kebijaksanaan pemerintah) maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri dari keterkaitannya yang membelenggu dia secara sadar atau tidak.
Einstein menulis surat historis yang berisikan bahwa tidak cukup bagi kita hanya memahami ilmu agar hasil pekerjaan kita membawa berkah bagi manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis. Ilmu tidak saja memerlukan kemampuan intelekstuak namun juga keluhuran moral. Tanpa itu maka ilmu hanya kan menjadi frankenstein yang akan mncekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka.

22.    REVOLUSI GENETIKA
Ilmu dala perspektif sejarah kemanusia mempunyai puncak kecermelangan masing-masing, namun seperti kotak pandora yang terbuka, kecermelangan itu sekaligus membawa malapetaka. Revolusi genetika merupakan babakan baru dala sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini manusia tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaaha ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi dan tidak membidik secara langsung manusia sevara langsung sebagai objek penelaahan. Dengan penelitian genetika maka maslahnya menjadisangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan , melainkan teknologi yang mengubah manusia itu sendiri.
Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam memncapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah. Analisis substansi dari jalan pikiran tersebut diatas membawa kita kepada beberapa permasalahan yang bersifat seperti, sekiranya kita mampu membikin manusia yang IQ-nya 160 apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa kita akan berbahagia (sekiranya diterima bahwa kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup manusia)? Dalam hal ini ilmu tidak bisa memberikan jawaban yang bersifat apriori (sebelumnya) sebab kesimpulan ilmiah baru bisa ditarik setelah proses pembuktian yang besifat aposteriori (sesudahnya). Jadi bila kita secara normal bersedia meluluskan penciptaan  manusia yang mempunyai IQ 160 maka dengan ilmu pun tidak bisa memberikan jaminan bahwa dia berbahagia.
Kita harus mencoba dulu dan baru kita akan mengetahui jawabannya, mungkin demikian jawabannya para ahli genetika. Hal ini membawa permasalahan moral yang baru.belum lagi bila diingat bahwa secara moral mungkin saja orang tidak sependapat bahwa kemuliaan manusia tidaka ada hubungannya dengan IQ 160. Kemuliaan manusia bagi sebagian orang bukan terletak pada atribut-atribut fisik melainkan pada amal perbuatannya. Demikian juga mungkin saja atribut-atribut fisik itu mempunyai makna religius tertentu dalam perspektif kehidupan yang bersifsat teleologis. Mengapa mengutik-ngutik atribut yang terkait dengan kepercayaan seseorang yang bersifat sakral? Bahkan pun bila ilmu bisa menjawab segudang pertanyaan mengenai kausalita fisik, ilmu tetap tidak berhak menjamah daerah kemanusiaan ini yang bersifat transendental. Bila diingat bahwa ilmu pun sama sekali buta dalam hal ini, tak satupun jawaban yang dipunyainya kecuali hipotesis yang ingin dibuktikannya.
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu sikap yang menolak terhadap dijadikannya manudia sebagai objek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadapa suatu objek yang tercakup dalam .... (ontologi) ilmu.
VII
Ilmu dan Kebudayaan

23.    MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E. B. Taylor pada tahun 1871, lebih dari saratus tahun yang lalu, dalam buku Primitive culture dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kuntjaraningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur  yang terdiri dari sistem religi  dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemsyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Menurut ashley Montagu kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.Maslow mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afialisi, harga diri dan pengembangan potensi.
Nilai-nilai budaya adalah jiwa dai kebudayaan dan menjadi dasara segenap wujud kebudayaan. Tata hidup merupakan penceerminan yang konkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak. Sarana kebudayaan merupakan perwujudan yang bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam bentuk berkehidupan.
Kebudayaan dan pendidikan

Nilai teori adalah hakiakt penemuan kebenaran lewat berbagai metode hasil seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Masalah pertama yang dihadapi pendidikan adalah menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus dikembangkan dalam diri anak.
Untuk menentukan nilai-nilai yang patut mendapatkan perhatian yaitu memperkirakan skenario dari masyarakat dimasa yang akan datang untuk mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1.      Memperhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional,
2.      Pengembangan budaya yang berdasarkan Pancasila.
Masyarakat modern mempunyai indikator sebagai berikut:
1.      Lebih bersifat analitik,
2.      Lebih bersifat individual daripada komunal.
Nilai teori berkaitan erat dengan aspek penalaran , ilmu dan teknologi. Nilai ekonomi berpusat kepada pembangunan sumber dan benda secara lebih efektif dan efisien. Indikator kedua menimbulkan pergeseran dalamnilai sosial dan nilai kekuasan. Pengembangan kebudayaan nasional ditujukan kearah terwujudnya suatu peradaban yang menerminkan Pancasila dengan adanya kreativitas, ang diartikan sebagai kemampuan untuk mencari pemecahan baru terhadap suatu masalah.
Nilai agama berfungsi sebagai sumber moral kehidupan bagi segenap kegiatan. Hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia.

24.    ILMU DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisis yang saling tergantung dan saling mempengaruhi.dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda, yaitu sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional dan pengisi pembentukan watak suatu bangsa.
Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagi berpikir ilmiah. Berpikir imlih merupakan keguatan berpilira yang memenuhi persyaratan tertentu yang hakikatnya mencakup dua kriteria yaitu mempunyai alur jalan pikiran yang logis dan didukung fakta empiris. Ialah Karakteristik ilmu ialah sifat rasional, logis, obyektif dan terbuka dan juga sifat kritis merupakan karakteristik yang melandasi keempat sifat tersebut.
Ilmu sebagai Aas Moral
Kriteria kebanaran dalam ilmu adalah karakteristik berpikir yang bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan, artinya menetapkan suatu pernyataan atas dasar penarikan kesimpulan kepada argumentsi yang terkandung dalam suatu pernyataan. Kebenaran bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan yang universal. Dau karakteristik asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebnaran dan pengabdian secra universal.
Nilai-nilai Ilmiah dan pengembangan kebudayaan Nasional
Pengembangan kebudayaan nasional adalah perubahan dari kebudayaan sekarang yang bersifat konvensional kearah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan pada dasatnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional .
Ke Arah Peningkatan Peranan Keilmuan
Ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional. Langkah-langkah yang sistemin dan sistematik untuk meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan mengandung beberapa pemikiran yaitu:
1.      Ilmu merupakan bagian kebudayaan,
2.      Ilmu merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran,
3.      Asumsi dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap mtode yang digunakan,
4.      Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral,
5.      Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan,
6.      Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan strutur kekuasaan.

25.    DUA POLA KEBUADAYAAN
            Adanya dua pola kebudayaan masyarakat ilmuwan dan non-ilmuwan yang menghambat kamajuan dibidang ilmu dan teknologi. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kadalam dua golongan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan kedua ilmu ini bersifat teknis yang tidak mejurus kepada perbedaan yang fundamental. Dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari kedua ilmu tersebut yaitu sama. Metoda yang dipergunakan dalam mendapatkan pengetahuannya adalah metode ilmiah yang sama, tak terdapat alasan yang nersifat metodologis yang membedakan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
            Perbedaan tersebut tidak mengubah apa yang menjadi tujuan ilmu untuk mencari penjelasan dari segala sesuatu yang ditemukan dapat mengetahui sepenuhnya hakikat obyek yang dihadapi. Dalam soal pengukuran yang menjadi dasar bagi suatu analisis kuantitatif maka ilimu-ilmu sosial menghadapi dua masalah. Masalah yang pertama adalah sukarnya melakukan pengukuran karena mengukur aspirasi atau emosi seorang manusia adalah tidak semudah mengukur panjang sebuah logam. Masalah yang kedua adalah banyaknya variabel yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Teori ilmu-ilmu sosial merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, seperti juga ilmu-ilmu alam, maka jawaban yang diberikan ilmu-ilmu sosial harus makin bertambah cermat dan tepat. Pengukuran yang rumit dan variabel yang membutuhkan pengetahuan matematika dan statis tika yang lebih maju dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Hakikat matematika dalam kaitannya dengan eksistensi ilmu. Tujuan matematika yang pertama adalah mencakup penguasaan matematika secara teknis dan mendalam dalam rangka penalaran deduktif untuk menemukan kebenaran. Tujuan yang kedua adalah  penguasaan matematika sebagai alat komunikasi simbolik.
            Penalaran deduktif yang menyangga pembentukan rumus tersebut bisa dikuasai secara kualitatif atau dikombinasikan dengan analisis matematika  yang tidak terlampu teknis. Tujuan pendidikan pendidikan yang pertama yakni pendidikan analitik maka yang penting adalah penguasaan berpikir matematik yang memungkinkan analisis sampai terbebtuknya rumus statistika tersebut. Tujuan pendidikan yang kedua yakni pendidikan simbolik maka yang penting adalah pengetahuan mengenai kegunaan rumus tersebut serta penalaran deduktif  dalam penyusunan meskipun tidak secara seluruhnya merupakan aanalisis matematika. Pembagian jurusan berdasarkan bidang keilmuan melainkan berdasarkan tujuan pendidikan matematika yakni memilih jurusan berdasarkan bakat matematikanya. Peningkatan pendidikan keilmuan harus ditekankan kepada penguasaan cara berpikir ilmiah yang ditopang oleh sarana-sarana berpakir ilmiah termasuk matematika dan statistika.



VIII
Ilmu dan Bahasa

26.    TENTANG TERMINOLOGI: ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN SAINS?
Dua jenis ketahuan
Terminologi ketahuan adalah terminolohi antifisial yangbersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu. Ketahuan atau knowledge merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk apa yang diketahui. Seluruh bentuk dari anggota kelompok ketahuan digolongkan ke dalam kategori ketahuan dimana masing-masing bentuk dapat dicirikan oleh karakteristik obyek ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis masing-masing.
Beberapa Alternatif
Alternatif pertama adalah menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge. Yang kedua adalah didasarkannya kepada asu si bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah dua kata benda yakni ilmu dan pengetahuan.
Sains:
Adopsi yang kurang dapat dipertanggung jawabkan
Sains adalah terminologi yang dipinjam dari bahasa inggris yakni Science, yang dalam bahasa Indonesia sains adalah sinonim dengan science adalah ke-sains-an atai saintifik.

27.    QUO VADIS?
Dalam Konperensi Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III LIPI yang berlangsung dijakarta pada tanggal 15-19 september 1981ada yang menyarankan menggunakan terminologi ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge(ilmu dalam perspektif moral, sosial dan politik). Alasan untuk perubahan tersebut adalah Ilmu (species) adalah sebagian pengetahuan (genus). Dengan demilian ilmu adalah pengetahuan yang memiliki cirii-ciri tertentu yakni ciri-ciri ilmiah, atau dengan perkataan lain ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah (scientiific knowledge) menurut tata bahasa indonesia berdasarkan hukum diterangkan atau menerangkan maka ilmu pengetahuan adalah ilmu D yang bersifat Mpengetahuan M dan pernyataan ini pada hakikatnya adalah salah sebab ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah. Kata ganda dari dua kata benda yang termasuk kategori yang sama biasanya menunjukkan dua obyek yang berbeda, dengan penafsiran yang sama maka ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu dengan pengetahuan.
Dalam konperensi tersebut terdapat pendapat lain yang sangat berbeda yakni ilmu merupakan genus dimana terdapat bermacam species seperti ilmu kebatinan,ilmu agama, ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka terminologi ilmu pengetahuan adalah sinonim dengan scientific knowledge. Ilmu adalah sinonim dengan knoledge dan pengetahuan dengan science yang berdasarkan hukum DM maka ilmu pengetahuan adalah ilmu knowledge yang bersifat pengetahuan scientific. Ada beberapa kelemahan dari pilihan amatematika bukan ilmu, namun penggunaan bahasa sehari-hari dengan menyebut ilmu matematika sekiranya hanya terbatas untuk tujuan identifikasi maka hal ini tidak terlalu mengganggu. Dengan mengambil ilmu pengetahuan untuk scientific knowledge, ilmu untuk knowledge, dan pengetahuan untuk science maka harus diadakan beberapa perubahan antara lain, metode ilmiah harus diganti dengan metode pengetahuan. Ilmu-ilmu sosial (the social science harus diganti dengan pengetahuan-pengetahuan sosial atau ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Ilmuwan harus diganti dengan  ahli pengetahuan. Hal ini berarti bahwa segenap apa yang kita ketahui  termasuk science adalah pengetahuan dan segenap apa yang tidak diketahui adalah ketidaktahuan.

28.    POLITIK BAHASA NASIONAL
Bahasa mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama sebagai sarana komunikasi antarmanusia (fungsi komunikatif) dan kedua sarana budaya yang mempersatuakan kelompok manusia (fungsi kohesif atau integratif). Pada tangga 28 Oktober 1928 bangsa indonesia memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Alasan yang lebih ditekankan pada fungsi kohesif Bahasa Indonesia sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia.
Bahasa mencakup tiga unsur yakni bahasa selaku alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi perasaan (emotif), berkonotasi sikap (afektif), berkonotasi pikiran (penalaran). Perkembangan bahasa pada dasarnya adalah pertumbuhan ketiga fungsi komunikatif tersebut agar mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut. Perkembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, haruslah memperhatikan ketiga unsur dengan seimbang, untuk itu haruslah dipikirkan polotik bahasa yang mengakaji permasalahan secara integral dan menyeluruh.
Agar dpat mencerminkan kemajuan zaman maka fungsi komunikasi bahasa harus secra terus menerus dikembangkan namun harus dujaga agar fungsi kohesif yang merupakan milik yang sangat berharga bdalam berbangsa dan bernegara tetap terpelihara atau dapat ditingkatkan lagi. Bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan sektor-sektor sehingga bahasa bersifat tidak berfungsi dan bahkan jontra produktif (counter productive).


IX
Penelitian dan Penulisan Ilmiah

29 . STUKTUR PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH
pemilihan bentuk dan cara penulisan dari khasanah yang tersedia merupakan maslah selera dan prefensi perorangan denganmemperhatika berbagai faktor yang lainnya seperti masalah apa yang sedang dikaji, siapakah pembaca tulisan ini dan dalam rangka kegiatan keilmuan apa karya ilmiah ini disampaikan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka akan dicoba untuk membahas laur-alur jalan pikiran yang terdapat dalam sebuah penelitian ilmiah yang dikaitkan dengan proses penulisan.
Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentsasi penalaran keilmuan  yang dikomunikasikan leat bahasa tulisan. Untuk itu maka mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligis mengkomunikasikannya secara tertulis. Struktur penulisan ilmiah yang secara logis dan kronologis mencerminkan kerangka penalaran ilmiah. Pembahasan ini ditujukan ketika menulis tesis, disertasi, laporan penelitian atau publikasi ilmiah lainnya dengan harapan agar lebih memahami logika dan arsitektur penulisan ilmiah dengan mengenal kerangka berpikir firasati maka akan lebih mudah menguasai hal-hal yang bersifat teknis.
Pengajuan masalah
Langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah. Suatu maslah tidak akan pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari faktor-faktor lain. Selalu terdapat konstelasi yang merupakan latar belakang dari suatu maslah tertentu. Identifikasi masalah adalah suatu tahap permulaan dari penguasaan masalah dimana suatu objek dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat kita kenali sebagai suatau masalah. Pembatasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas pemasalahan dengan jelas, yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam lingkup permsalahan, dan faktor mana yang tidak. Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang ingin kta carikan jawabannya. Perumusan masalah dijabarkan dari identifikasi  dan pembatasan masalah. Masalah yang dirumuskan dengan baik, berarti sudah setengah dijawab. Perumusan masalah yang baik bukan saja membantu memusatkan pikiran namun sekaligus mengarahkan juga cara berpikir. Tujuan penelitian adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan. Setelah itu maka dibahas kemungkinan kegunnaan penelitian yang merupakan manfaat yang dapat dipetik dari pemecahan maslaah yang dapat dari penelitian.. jadi enam kegiatan dalam langkah pengajuan masalah tampaj seperti:
PENGAJUAN MASALAH
1.        Latar belakang masalah
2.        Identifikasi masalah
3.        Pembatasan masalah
4.        Perumusan masalah
5.        Tujuan penelitian
6.        Kegunaan penelitian

Penyusunan kerangka teoretis
Langkah kedua dalam metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan. Cara ilmiah dalam memecahkan persoalan pada hakikatnya adlah mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji persoalan agar kita mendapatkan jawaban yang dapat kita andalkan. Hal yang berarti bahwa dalam menghadapai permasalahan yang diajukan maka kita mempergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat yang membantu kita dalam menemukan pemecahan.
PENYUSUNAN KERANGKA TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
1.    Pengkajian mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis.
2.    Pembahasan mengenai penelitian yang lain relevan.
3.    Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagi tercantum dalam butir (1) dan (2) dengan menytakan secara tersurat postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan.
4.    Perumusan hipotesis.

Metodologi penelitian
            Langkah berukitnya adalah menguji hipotesis  tersebut secara empiris, artinya kita melakukan verivikasi apakah pernyataan yang dikandung oleh hipotesis yang diajukan tersebut didukung atau tidak oleh kenyataan yang bersifat faktual. Proses verivikasi dituntut untuk melakukan penarikan kesimpulan secara induktif.verifikasi ditujukan kepada upaya untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari fakta-fakta yang bersifat individual. Masalah yang dihadapi dalam proses verifikasi adalah bagaimana prosesdur dan cara dalam pengumpulan dan analisi data yang ditarik memnuhi persyaratan berpikir  induktif. Penetapan prosedur dan cara disebut metodologi penelitian.
Metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode . metodologi penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian. Kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan saja variabel-veriabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan diuji malainkan sekaligus juga tingkat keumuman dari kesimpulan yang akan ditarik.
Metodologi Penelitian
1.      Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti.
2.      Tempat dan waktu penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai variabel-variabel yang diteliti.
3.      Metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan.
4.      Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian.
5.      Teknik pegumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendpatkan data.
6.      Teknik analisis data yang mencakup langkah-langkah dan teknik analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis.

Hasil Penelitian
Langkah berikutnya adalah melaporkan apa yang kita temukan berdasarkan hasil penelitian.  Dalam membahas hasil penelitian maka harus selalu siingat bahwa tujuan kita adalah membandingkan kesimpulan yang ditarik dari data yang telah dikumpulkan dengan hipotesis yang telah diajukan. Langkah berikutnya adalah memberikan penafsiran terhadap keseimbangan analisis data, menafsirkan hubungan yang bersifat statistis. Secara singkat hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut:
Hasil penelitian
1.        Menyatakan variabel yang diteliti;
2.        Menyatakan teknik analisis data;
3.        Mendeskripsikan hasil analisis data;
4.        Memberikan penafsiran trhadap analisis data;
5.        Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.

Ringkasan dan kesimpulan

Kesimpulan pengujian hipotesis kemudian dikembangkan menjadi kesimpulan penelitian yang ditulis dalam bab sendiri. Kesimpulan penelitian merupakan sistesis dari keseluruhan aspek yang terdiri dari masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian. Sintesis ini membuahkan kesimpulan yang ditopang oleh suatu kajian yang bersifat terpadu dengan meletakkan berbagai aspek penelirian dalam perspektif yang menyeluruh.
Ringkasan dan Kesimpula?
1.      Deskripsi singkat mengenai masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian;
2.      Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut di atas;
3.      Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan;
4.      Mengkaji implikasi penelitian;
5.      Mengajukan saran.

Abstrak

Seluruh laporan penelitian kemudian disarikan dalam sebuah ringkasan yang disebut abstrak. Abstrak merupakan ringkasan keseluruhan kegiatan penelitian yang paling banyak terdiri dari tiga halaman. Keseluruhan abstrak merupakan sebuah sesi yang utuh san tidak dibatasi oleh sub judul.

Daftar pustaka
Daftar pustaka merupakan inventarisasidari seluruh publikasi ilmiah maupun nonilmiah yang diperguanakan sebagai dasar begi pengkajian yang dilakukan.

Riwayat Hidup
Riwayat hidup merupakan deskripsi dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan penulisan ilmiah yang disampaikan.

Usulan penelitian
Usulan penelitian mencakup langkah pengajuan masalah, penyusunan kerangka teoretis dan pengajuan hipotesis serta metodologi penelitian.


Lain-lain
Lain-lain berkaitan dengan daftar isis, lembar persetujuan dan bahkan pemberian nomor halaman.

Penutup


30.    TEKNIK PENULISAN ILMIAH
Teknik penulisan ilmiah mempunyai dua aspek yakni gaya penulisan dalam membuat pernyataan ilmiah serta teknik notasi dalam menyebutkan sumber dari pengetahuan ilmiah yang dipergunakan dalam penulisan. Komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan tepat yang memungkinkan proses penyampaian pesan yang bersifat reproduksi dan impersonal. Penulis ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Tata bahasa merupakan ekspresi dari logika berpikir  : tata bahasa yang tidak cermat merupakan pencerminan dari logika berpikir yang tidak cermat pula. Langkah pertama dalam menulis karangan ilmiah yang baik adalah mempergunakan tata bahasa yang benar. Masalah yang terjadi pada informasi mengakibatkan dua kerugian. Pertama, dangan terlalu banyaknya informasi tentang manajeman yang tidak diperlukan dalam langkah pembahasan. Kedua, terpisahnya sumber informasi pada saat informasi itu diperlukan yang menyebabkan melemahnya argumentasi yang sedang disusun.
Komunikasi ilmiah bersifat reproduktif, artinya bahwa penerima pesan mendapatkan kopi yang benar-benar sama dengan prototipe yang disampaikan si pemberi pesan, seperti fotokopi atau sebuah afdruk foto. Komunikasi bersifat impersonal, arinya figur yang muncul secara dominan dalam seliruh pernyataan. Teknik notasi ilmiah yang pertama, harus dapat di identifikasi  orang yang membuat pernyataan tersebut. Kedua, dapat diidentifikasi media komunikasi ilmiah dimana pernyataan itu dusampaikan apakah itu makalah, buku, seminar, lokakarya dan sebagainya. Ketiga, dapat diidentifikasi lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat berdosimili dan waktu penerbitan itu dilakukan. Sekiranya pernyataan ilmiah itu tidak diterbitkan melainkan disampaikan dalam bentuk makalah untuk seminar atau lokakarya maka harus disebutkan tempat, waktu, dan lembaga yang melakukan kegiatan tersebut.
Dalam teknik notasi ilmiah dengan mempergunakan catatan kaki, umpamanya, terdapat dua variasi. Variasi pertama ialah bahwa catatan kaki itu ditaruh dalam halaman yang sama, sedangkan dalam variasi kedua catatan kaki itu seluruhnya dikelompokkan dan ditaruh pada akhir sebuah bab. Fungsi pertama dari catatan kaki adalah sebagai sumber informasi bagi pernyataan imiah yang dipakai dalam tulisan. Kedua, teknik pengetikan yang lebih mudah dan sebagai tempat bagi catatan-catatan kecil, yang sekiranya diletakkan dalam tubuh utama laporan, akan mengganggu  keseluruhan penulisan.

31.    TEKNIK NOTASI ILMIAH
Dalam bagian ini akan dicoba untuk menguraikan hal-hal yang bersifat pokok dan salah satu teknik notasi ilmiah yang mempergunakan catatan kaki. Diharapkan dengan menguasai aspek-aspek yang bersifat esensial maka seseorang akan mampu mengkomunikasikan gagasannya secaara ilmiah, atau paling tidak mampu memahami sebuah karya ilmiah. Tanda catatan kaki diletakkan di ujung kalimat yang kit akutip mempergunakan angka Arab yang diketik naik setengah spasi. Catatan kaki di tiap bab di beri nomer urut mulai dari angka 1 sampai habis dan diganti dengan nomor 1 kembalin pada bab baru. Satu kalimat mungkin terdiri dari beberapa catatan kaki sekiranya kalimat itu terdiri dari beberapa kutipan. Dalam keadaan seperti ini maka tanda catatan kaki diletakkan diujung kalimat yang dikutip sebelum tanda baca penutup. Sedangkan satu kalimat yang seluruhnya terdiri dari satu kutipan tanda catatan kaki diletakkan sesudah tanda bacapenutup kalimat. Catatan kaki ditulis dalam satu spasi dan dimulai dari pnggir, atau dapat dimulai setelah beberapa ketukan tik dari pinggir, asalkan dilakukan secara konsisten.
Kutipan yang diambil dari halaman tertentu disebutkan halamannya dengan singkatan p(pagina) atau hlm(halaman). Sekiranya kutipan itu disarikan dari beberapa halaman umpamanya dari halaman 1 sampai dengan 5 maka ditulis pp 1-5 atau hlm 1-5. Jika nama pengarangnya tidak ada maka langsung aja dituliskan nama bukunya atau dituliskan Anom. (Anonymous) di depan nama buku tersebut. Sebuah buku yang diterjemahkan harus ditulis baik pengarang maupun penerjemah buku tersebut sedangkan sebuah kumpulan karangan cukup disebutkan nama aditornya.
Sebuah makalah yang dipublikasikan dalam majalah, koran, kumpulan karangan atau disampaikan dalam forum ilmiah dituliskan dalam tanda kutip yang disertai dengan informasi mengenai makalah tersebut :
Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan memakai notasi  op. Cit. (opera citato:dalam karya yang telah dikutip), loe, cit. (loco citato:dalam tempat yang telah dikutip dan ibid. (ibidem : dalam tempat yang sama). Untuk pengulangan maka nama pengarang tidak ditulis lengkap melainkan cukup nama familinya saja. Sekiranya pengulangan dilakukan dengan tidak diselang oleh pengarang lain maka dipergunakan notasi ibid.
Sekiranya dalam kutipan kita dipergunakan seorang pengarang yang menulis beberapa karangan maka untuk tidak membingungkan sebagai pengganti loc. Cit atau op. Cit. Dituliskan judul karangannya. Bila judul karangan itu panjang maka dapat dilakukan penyingkatan selama itu mampu menunjukkan identifikasi judul karangan yang lengkap.
Dalam catatan kaki maka nama pengarang dituliskan lengkap dengan tidak mengalami perubahan apa-apa. Sedangkan dalam daftar pustaka nama pengarang harus disusun berdasarkan abdjad huruf awal familinya. Tujuan utama dari catatan kaki adalah mengidentifikasikan lokasi yang spesifik dari karya yang dikutip. Di pihak lain,tujuan utama dari daftar pustaka adalah mengidentifikasikan karya ilmiah itu sendiri. Untuk itu maka dalam daftar pustaka tanda kurung yang membatasi penerbit dan domisili penerbit tersebut dihilangkan serta demikian juga lokasi halaman. Dengan demikian catatan kaki (CT) nomor 1, 4, 5, 6. 9, 11, dan 13 bila dimasukkan ke dalam daftar pustaka (DP) berubah sebagai berikut :
CT  : Harold A. Larrabee, Reliable Knowledge
        (Boston: Houghton Miffilin, 1964), hlm. 4
            DP : larrabee, Harlod A. Reliable Knowledge. Boston: Houghton Mifflin, 1994
Daftar pustaka itu kemudian diurut berdasarkan huruf pertama dari nama famili pengarangnya.


X
PENUTUP

32. HAKIKAT DAN KEGUNAAN ILMU
Pada waktu itu pengetauan-pengetahuan, termasuk juga ilmu, memang tidak mempunyai kegunaan praktis melainkan estesis. Artinya seperti kita mempelajari main piano atau membaca sajak cinta, maka pengetahuan semacam ini lebih ditujukan kepada kepuasan jiwa, dan bukan sebagai konsep untuk memecahkan masalah. Ilmu sekadar pengetahuan yang harus bisa dihafal, agar bisa dikemukakan waktu berdebat: makin hafal lantas makin hebat! Pengetahuan yang dikuasai harus mencakup bidang-bidang yang amat luas, agar tiap masalah yang muncul kita bisa ikut menyambut, makin banyak maka makin yahut. Penempatan ilmu dalam fungsi estitis pada zaman Yunani Kuno itu disebabkan filasafat mereka yang memandang rendah pekerjaan yang bersifat praktis yang waktu itu dikerjakan oleh budak belian. Adalah kurang pada tempatnya kalau kaum yang merdeka memikirkan masalah yang tidak sesuai dengan status sosial mereka.
Kiranya bahwa sajak atau nyanyian adalah fungsional bagi kehidupan kita, dan hal ini tidak usah diragukan lagi, namun terdapat fungsi yang berbeda antara kedua ungkapan seni tadi dengan teori keilmuwan, seperti perbedaan antara Hukum Boyle dengan lagu Ebiet G.Ade. Lagu Ebiet umpamanya mengungkapkan masalah urbanisasi: terkapar di tengah kota, berbekal tinggal sehelai sarung, namun malu balik ke desa! Lagu ini mungkin menyadar kita kepada permasalahan yang merasuk ini, berkumandang dan menggelitik nurani, yang membuahkan perubahan sikap dan mungkin perilaku kita terhadap urbanisasi. Namun yang jelas kita tidak bisa memecahkan masalah tentang urbanisasi hanya dengan menyanyi. Kita harus melakukan tindakan-tindakan kongkret, tidak dengan membentuk vokal group, namun melakukan serangkaian tindakan yang konsepsional berdasarkan pengetahuan yang terandalkan. Buku teks ilmuwan ini tak jauh berbeda dari buku primbon dukun ramal yang dipergunakan untuk konsultasi dalam memecahkan masalah-masalah praktis. Paling pun berbeda adalah lingkupnya.
Jadi buku-buku tebal ilmuwan pada hakikatnya adalah sama saja dengan buku-buku primbon tukang ramal yakni menjelaskan, meramal dan mengontrol. Tentu saja yang berbeda adalah asas dan produsernya: menjelaskan-meramalkan-mengontrol inflasi kita mempergunakan asas dan prosedur keilmuwan, sedangkan menjelaskan-meramal-dan-mengontrol telapak tangan kita mempergunakan asas dan prosedur perklenikan. Dengan demikian tidak usah heran kalau dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan orang tidakselalu datang berkonsultasi kepada ilmuwan melainkan kepada dukun. Keduanya melakukan fungsi sama meskipun dengan asas dan prosedur yang berbeda. Pilihan di antara keduanya tergantung kepada kepercayaan kita, artinya dalam memecahkan masalah kehidupan, apakah kita mempercayai asas dan prosedur keilmuwan atau perklenikan. Tingkat kepercayaan seseorang dan masyarakat memeng berbeda: kepercayaan seseorang tergantung kepada pendidikan, kepercayaan masyarakat tergantung kepada kebudayaan.    



KESIMPULAN
Filsafat ilmu berarti terus terang dengan pengetahuan yang dimiliki diri sendiri sejak bangku dasar sampai pendidikan lanjut. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.  Logika merupakan cara berpikir yang sesuai dengan fakta, realita yang sebenarnya yang bisa diterima oleh orang lain. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula. Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan ilmu adalah mencari penjelasan dari gejala-gejala yang ditemukan yang memungkinkan untuk mengetahui sepenuhnyanhakikat obyek yang dihadapi.
Penempatan ilmu dalam fungsi estetis pada zaman yunani kuno itu di sebabkan filsafat mereka yang memandang rendah pekerjaan yang bersifat praktis. Ilmu tidak berfungsi sebagai pengetahuan yang diterapkan dalam memecahkan masalah kita sehari-hari, melainkan sekedar dikenal dan dikonsumsi. Jadi buku-buku tebal ilmuwan pada hakikatnya adalah sama saja dengan buku-buku primbon tukang ramal yakni menjelaskan, meramal dan mengontrol.  Keduanya melakukan fungsi yang sama meskipun dengan asas dan prosedur yang berbeda. Pilihan keduanya tergantung kepada kepercayaan kita, artinya dalam memecahkan masalah kehidupan, mempercayai asas dan prosedur keilmuan atau perklenikan. Kepercayaan seseorang dan masyarakat memeng berbeda. Kepercayaan seseorang tergantung kepada pendidikan, sedangkan kepercayaan masyarakat tergantung kepada kebudayaan.