FILSAFAT ILMU
Jujun S. Suriasumantri
Drs.M.Suharsono, Msi
Di susun oleh :
Sri Sunarsih (F.131.11.0100)
UNIVERSITAS SEMARANG
FAKULTAS PSIKOLOGI
2012
I
Ke Arah Pemikiran
Filsafat
1.
ILMU
DAN FILSAFAT
Pengetahuan
dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan
filsafat dimulai dengan keduanya. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa
semuanya tidak pernah diketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini.
Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacamm keberanian untuk
berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau.
Berfilsafat
tentang ilmu berarti terus terang kepada diri sendiri, misalnya apakah yang
saya ketahui tentang ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan
pengetahuan yang benar?
Apakah Filsafat?
Seorang
yang berfikir filsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang
tergadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam
kemestaan galaksi.
Karakteristik
berfikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak
puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin
melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya.
Karakteristik
Berfikir Filsafat Yang kedua yakni sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya
begitu saja bahwa ilmu itu benar.
Karakteristik
Berfikir Filsafat Yang ketiga adalah sifat spekulatif. Secara terus terang
tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan, dan bahkankita
tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendassar.
Yang terpenting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun
pembuktiannya, kita bisa memisahkan
spekulasi mana yang bisa diandalkan
dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Filsafat: Peneratas
Pengetahuan
Seorang yang skeptis akan berkata:
sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkahpun dia tidak
maju. Sepintas lalu kelihatannya demikian, dan kesalah pahaman ini bisa segera
di hilangkan, sekira kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan
pionir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat menyerahkan daerah
yang sudah dimenangkannya kepada ilmu pengetahuan-pengetahuan yang lainnya.
Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bertolak dari
pengembangannya bermula sebagai filsafat.
Dalam perkembangannya filsafafat
menjadi ilmu maka terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang menjelajah filsafat lebih sempit, tidak lagi menyeluruh
melainkan sektoral.
Pada tahap selanjutnya ilmu
menyatakan dirinya otonom dari konsep-konsep filsafat dan mendaar sepenuhnya
kepada hakikat alam sebagaimana adanya. Pada tahap peralihan ilmu masih
mendasar kepada norma yang seharusnya, sedangkan pada tahap terakhir ini, ilmu
mendasar kepada penemuan alamiah sebagaimana adanya.
Bidang Telaah Filasafat
Selaras
dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat
dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia
mempermasalahkan hal-hal yang pokok: Terjawab masalah yang satu, dia pun mulai
merambah pwrtanyaan lain .Hal ini selaras dengan usaha peningkatan kemampuan
penalaran maka filasafat ilmu menjadi “ngetop” ,sedangkan dalam masa-masa
mendatang maka yang akan menjadi perhatian kemungkinan besar bukan lagi
filasafat ilmi, melainkan filasafat moral yang berkaitan dengan ilmu.
Tahap
ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filasafat sejak zaman
Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung selesai
mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang disadari bahwa tiap ilmu,
terutama ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang
menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Mungkin ada baiknya kita
mengambil contoh yang agak berdekatan yakni ilmu ekonomi dan menajemen. Kedua
ilmu ini menpunyai asumsi tentang manusia yang berbeda. Ilmu ekonomi mempunyai
asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan
sebesar-besarnya dan menjauhi ketidaknyamanan semungkin bisa. Sedangkan ilmu
menejemen mempunyai asumsi lain tentang manusia sebab bidang bidang telaah ilmu
menejemen lain dengan lain ekonomi. Ilmu ekonomi bertujuan menelaah hubungan
manusia dengan benda/jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; dan menajemen
bertujuan menelaah kerja sama anta rsesama manusia dalam mencapai suatu tujuan
yang di setujui bersama.
Tahap
yang kedua adalah pertanyaan yang berkisar tentang ada: tentang hidup dan
eksistensi manusia
Cabang-Cabang Filasafat
Pokok
permasalahan yang dikaji filasafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut
benar dan apa yang disebut salah (logika) , mana yang dianggap baik dan mana
yang dianggap buruk(etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk
jelek(estetika). Ketiga cabang filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni Teori
tentang ada : tentang hakikat keberadaan zat,tentang pikiran serta kaitan
antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika, dan kedua
politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal.
Kelima cabang utama itu kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat
yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik diantaranya filsafat ilmu.
Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain:
1. Epistemologi(Filsafat
Pengetahuan)
2. Etika(Filsafat
Moral)
3. Estetika(Filsafat
Seni)
4. Metafisika
5. Politik(Filsafat
Pemerintahan)
6. Filsafat
Agama
7. Filsafat
Ilmu
8. Filsafat
Pendidikan
9. Filsafat
Hukum
10. Filsafat
Sejarah
11. Filsafat
Matematika
Filsafat Ilmu
Filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi(filsafat pengetahuan) yang
secaraspesifik mengkaji hakikakt ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan
cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Ilmu
memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak
terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keeilmuan yang sama.
Filsafat
ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu seperti:
- Obyek
apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang Hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek yang tadi dengan daya tangkap manusia(seperti
berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? ( Ontologis)
- Bagaiman
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu? Bagaiman
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita dapat pengetahuan
yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya?
Cara/teknik/saran apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? ( Epistemologi)
- Untuk
apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/profesional? ( Aksiologi)
Pengertian
ilmu sebagai disiplin yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan
aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawaab dan kesungguhan.
II
Dasar-dasar
Pengetahuan
1.
PENALARAN
Kemampuan
menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuaaan-kekuasaannya. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia
disebabkan dua hal yang utama yakni:
1. Manusia
mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang
melatarbelakangi informasi tersebut.
2. Yang
menyebabkan manusia mampu mengembaangkan pengetahuannya dengan cepat dan
mantap, adalah kemampuan berpikir
menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar caraberpikir
seperti ini disebut penalara.
ilbahsa
yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu bernalar.
Manusia
bukan semata-mata makhluk yang berpikir: sekedar Homo sapiens yang steril.
Manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, mengindera; dan totalitas
pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut; disamping wahyu: yang
merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan makhlukNya.
Hakikat Penalaran
Penalaran
merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan
berfikir dan bukan dengan perasaan, meskipun sepertib dikatakan pascal, hati
pun mempunyai logika sendiri
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan
proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda.
Sebagai
suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.ciri yang
pertama ialah adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat disebut logika.
Ciri
yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berfikirnya. Kegiatan
berfikir juga ada yang tidak bedasarkan penalaran umpamanya adalah intuisi.
intuisi merupakan suatu kegiatan berfikir yang non analitik yang tidak
mendasarkan diri kepada suatu pola berfikir tertentu.
Penalaran
yang akan dikaji dalam studi ini pada pokoknya adalah penalaran ilmiah, sebab
usaha kita dalam mengembangkan kekuatan penalaran merupakan bagian dari usaha
untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi.
3.
LOGIKA
Penalaran
merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang
dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu
harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap
sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara
tertentu tersebut. Cara penarikan kesimopulan ini disebut logika, dimana logika
secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara
sahih”. Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai
dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan
melakukan penalaahan yang seksama hanya bersifat umm. Sedangkan di pihak lain
kita mempunyai logika deduktif, yang membantu kita dalam menarik kesimpulan
dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (kusus).
Induksi
merupakan cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai
dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang
khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan
yang bersifat umum.kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya sebab
mempunyai dua keuntungan. Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang
bersifat umum bersifat ekonomis.keuntungan yang kedua dari pernyataan yang
bersifat umum adalah dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik secara
induktif maupun deduktif.
Penalaran
deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran induktif.
Deduksi adalah cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum di tarik
kesinpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
mempergunakan pola berfikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari
dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Contoh
:
semua
makhluk mempunyai mata (premis
mayor)
si
polan adalah seorang makhluk (promis
minor)
jadi
si polan mempunyai mata
(kesimpulan)
Kesimpulan
yang diambil bahwa si polan mempunyai mata adalah sah menurut penalaran
deduktif,sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang
mendukungnya.
Dengan
demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni
kebenaran premis mayor, kebenaran premia minor dan keabsahan pengambilan
kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratanya tidak
dipenuhi maka kesimpulan ditariknya akan salah.
4.
SUMBER
PENGETAHUAN
Baik
logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya mempergunakan
premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar.
Pada
dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan
yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan
paham apa yang kita kenal dengan paham rasionalisme. Sedangkan mereka yang
mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan
empirisme.
Masalah
utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui
akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat
dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis nadalah evaluasi
dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena
premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat
abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat
dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan
bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentutanpa adanya suatu
konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak.
Berlainan
dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia
itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkret.
Gejala-gejala alamiah menurut kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat
dinyatakan lewat tangkapan panca indera manusia.
Masalah
utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini adalah bahwa
pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta.
Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat
hal-hal yang bersifat kontadiktif.
Masalah
yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam
menemukan pengetahuan dan panca indera sebagai alat yang menangkapnya.
Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi
pancaindera manusi bisa melakukan kesalahan. Contoh yang bisa kita lihat
sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian terendam di dalam air
akan kelihatan menjadi bengkok.
Yang
penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan
pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang
yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahan tersebut. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa
diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka ituisi
ini tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai
hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya
pernyataanyang dikemukaannya.
Wahyu
merupakan pegetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan
ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenal kehidapn sekarang yang terjangkau pengalaman,
namun juga mencangkup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar
belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Secara
raional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di
dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa
dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak.
Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya
kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun.
5.
KRITERIA
KEBENARAN
Seorang
anak kecil yang baru masuk sekolah, setelah tiga hari berselang, mogok tidak
mau belajar. Orang tuanya mencoba membujuk dia dengan segala macam daya, dari
iming-imingan gula-gula sampai ancaman sapu lidi, semuanya sia-sia. Setelah
didesak-desak akhirnya dia berterus terang, bahwa dia sudah kehilangan hasratnya
untuk belajar, sebab ibu gurunya adalah seorang pembohong. “Tiga hari yang lalu
dia berkata bahwa 3+4=7. Dua hari yang lalu dia berkata 5+2=7. Kemarin dia
berkata 6+1=7. Bukankah semuanya ini tidak benar?”
Permasalahan
yang sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut terori kebenaran. Tidak
semua manusiamempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya
benar, termasuk anak kecil tadi, dengan pikiran yangb kekanak-kanakannya
mempunyai kriteria kebenaran tersendiri. Bagi kita tidak sukar untuk menerima
kebanaran bahwa 3+4=7; 5+2=7; 6+1=7; sebab secara deduktif dapat dibuktikan
bahwa ketiga pernyataan tersebut adalah benar.
Teori
kebenaran yang didasarkan kepada kriteria terseut diatas disebut teori
koherensi. Secara sederhana dapat disimpukan bahwa berdasarkan teori koherensi
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila
kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan
yang benar, maka pernyataan bahwa “si polan seorang manusia dan si polan pasti
akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan keduanya adalah konsisten dengan
pernyataan pertama.
Paham
lain adalah kebenaran berdasarkan kepada teori korespondensi, dimana eksponen
utamanya adalah Bertrand Russell (1872-1970). Bagi penganut teori korespondensi
maka suatu pernyataan adalah benar. Jika materi pengetahuan yang dikandung
pernyataan itu berkorespondensi(berhubungan) dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut.
Penalaran
teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi
ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan
fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori
kebenaran lain yang disebut teori kebenaran pragmatis.
Bagi
seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersbut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, suatu pernyatan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Pragmatisme bukanlah suatu
aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam
menentukan kriteria kebenaran sebagaimana disebutkan di atas.
III
Ontologi : Hakikat Apa
Yang diKaji
6.
METAFISIKA
Bidang
telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari
setiap pemikiran fillsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran
adalah roket yang meluuncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka Metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas
lalu kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi
filsafati tentang hakikatnya
Beberapa
Tafsiran Metafisika
Tafsiran
yang paling pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa
terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat
lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.
Sebagai lawan dari supernaturalisme
maka terdapat paham naturalisme yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud
yang bersifat supernatural ini. Materialisme, yang merupakan paham berdasarkan
naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh
pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang dalam alam
itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Di
sini kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum mekanistik melihat
gejala alam (termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala kimia-fisika semata.
Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda
secara substantif dengan proses tersebut diatas. Ilmu merupakan pengetahuan
yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.
Semua
permasalahan ini telah menjadi bahan kajian dari ahli-ahli filasafat sejak dulu
kala. Jadi pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai filasafat individual yang
berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua ini adalah sifat pragmatis
dari ilmu.
7.
ASUMSI
Sekiranya
hukum alam itu memang benar-benar tidak ada maka tidak akan ada permasalahan
dengan determinisme, probabilistik atau pilihan bebas. Dengan demikian maka
tidak ada masalah tentang hubungan logam dengan panas, tekanan dengan volume,
atau IQ dengan keberhasilan belajar. Alhasil lalu ilmu itu sendiri pun tidak
ada sebab ilmu justru mempelajari hukum alam seperti ini.
Jadi,
marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu
memang ada, sebab tanpa asumsi ni maka pembicaraan kita semuanya lantas
sia-sia, tukas teoritikus filasafat ilmu. Hukum disini diartikan sebagai suatu
aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta,
gejalanya berulang kali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang
sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum itu, seperti kata
Coca Cola, berlaku kapan saja dan dan dimana saja.
Untuk
meletakkan ilmu dalam perspektif filasafat ini marilah kita bertanya kepada
diri sendiri apakah sebenarnya yang akan dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin
mempelejari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, seperti yang
dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosoal, ataukah cukup yang berlaku bagi
sebagian besar dari mereka? Atau bahkan mungkin juuga kita mempelajari hal-hal
yang berlaku umum melainkan cukup
mengenai tiap individu belaka?
Konsekuensi
dari pilihan ini adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang
berlaku bagi seluruhmanusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme.
Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu
manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah
yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat
probabilistik.
8.
PELUANG
Berdasarkan
teori-teori keilmuwan saya tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti
mengenai suatu kejadian, tanya seorang awam kepada seorang ilmuwan. Ilmuwan itu
menggelengkan kepalanya, Tidak, jawab ilmuwan itu sambil tersenyum apologetik,
hanya kesimpulan yang probabilistik.
Jadi
berdasarkan meteorologi dan geofisika saya tidak pernah merasa pasti bahwa esok
hari akan hujan atau tidak akan hujan, sambung orang awam kita, kian penasaran
Tidak, jawab ilmuwan kita, tetap tersenyum sebab dia termasuk kepada golongan
“orang yang tahu ditahunya dan tahu ditidaktahunya”. Jadi tidak pernah groggy
bila diserang: Saya hanya bisa mengatakan, umpamanya, bahwa dengan probabilitas
0.8 esok tidak akan turun hujan.
“Apa artinya peliang
0.8 ini?” tanya orang awam. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa
probabilitas untuk turun hujan esok adalah 8 dari 10 (yang merupakan
kepastian). Atau sekiranya saya merasa pasti (100 persen) bahwa esok akan turun
hujan maka saya akan berikan peluang 1.0. atau dengan perkataan lain yang lebih
sederhana peluang 0.8 mencirikan bahwa pada 10 kali ramalan tentang akan jatuh
hujan, 8 kali memang hujan itu turun, dan dua kali ramalan itu meleset
Jadi,
biarpun kita mempunyai peluang 0.8 bahwa hari ini akan hujan, namun masih
terbuka kemungkinan bahwa hari tidak akan hujan?
Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar bagi saudara untuk mengambil keputusan, dimana
keputusan saudara harus didasarkan
kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikian maka
kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan saudara dan bukan pada
teori-teori keilmuwan.
Oleh
sebab itu sekiranya kita mempunyai pengetahuan ilmiah yang menyatakan
bahwa”sekiranya hari mendung maka terdapat peluang 0.8 akan turun hujan”, maka
pengetahuan itu harus kita letakkan pada permasalahan hidup kita yang mempunyai
perspektif dan bobot berbeda–beda.
9.
BEBERAPA
ASUMSI DALAM ILMU
Katakanlah
kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Tarik
garis kesana, buat garis kesini, hitung berapa besar sudut yang menyilang,
hitung berapa panjang garis berhadapan. Analisis seperti ini kita lakukan untuk
membuat konstruksi kayu bagi atap rumah kita.
Ternyata
masalah yang dihadapi arsitek-arsitek amuba berbeda dengan kita. Bagi amuba
bidang datar itu tidak rata dan mulus seperti pipi wanita yang sudah di
make_up, melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona.
Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta karya.
Jadi
secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti ada sebenarnya bidang datar
itu. Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar tapi namun bagi ilmu
masalah ini didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu ilmu sekadar
merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan prakis yang dapat membantu
kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun
atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan itu adalah bidang datar,
maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan. Namun bagi amuba
asumsi ini jelas tak dapat diterima sebab secara praktis bagi mereka permukaan
kayu yang mereka hadapi bukanlah bidang datar melainkan permukaan yang
bergelombang.
Dalam
analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis utama yakni zat,
gerak, ruang, dan waktu. Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan
beberapa hal. Pertama, asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan
pengkajian disiplin keilmuwan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar
dari pengkajian teoretis. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan
sebagaimana adanya”bukan ”bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi yang
pertama adalah asumsi yang mendasari telaahan ilmiah sedangkan asumsi kedua
adalah asumsi yang mendasari telaahan moral.
Seorang
ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dan analisis
keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula
konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang
melandasi suatu kajian keilmuwan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat.
Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat
kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak
dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik
dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap)
dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
10. BATAS-BATAS
PENJELAJAHAN ILMU
Ilmu
membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan
metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara
empiris. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata
Einstein. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan ke jurang mala
petaka.
Ruang
penjelajahan keilmuwan kemudian kita menjadi “kapling–kapling” berbagai
disiplin keilmuwan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai dengan
perkembangan kuantitatif disiplin keilmuwan. Kalau pada fase permulaan hanya
terdapat ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral
philosophy) maka dewasa ini terdapat
lebih dari 650 cabang keilmuwan.
Cabang-Cabang Imu
Ilmu
berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Pada
dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni
filasafat alam yang kemudian mejadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural
sciences) dan filasafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang
ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilumu alam membagi diri kepada dua
kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the
biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam
semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari
massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari
benda-benda langit) dan ilmu bumi (atau the earth sciences yang mempelajari
bumi kita ini).
Tiap-tiap
cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi
mekanika,hidrodinamika,bunyi,cahaya,panas, kalistrikan dan magnetisme, fisika
nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk ke dalam
ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan
ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni
antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi
(mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam
memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi
(mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari
sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara)
Disamping
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan
matematika. Humaniora terdiri dari seni,filsafat,agama,bahasa dan sejarah.
Matematika, seperti akan kita pelajari lebih lanjut,bukan merupakan illmu, melainkan
cara berpikir deduktif.
IV
Epistemologi
: Cara Mendapatkan Pengetahuan yang Benar
11. JARUM SEJARAH
PENGETAHUAN
Pada
masyarakat primitif, pembedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum
tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Sekali kita
menempati status tertentu dalam jenjang kemasyarakatan maka status itu tetap,
kemana pun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu,
hakikatnya hanya satu.
Jadi
sekali menjadi seorang ahli maka seterusnya dia akan menjadi seorang ahli. Seorang
ahli di bidang peternakan ayam akan dianggap ahli dalam masalah perkawinan, kebatinan,
perdagangan, ekonomi, seks, kenakalan remaja dan entah apa saja.
Jadi
kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu
dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang.
Tidak terdapat jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan yang lain. Antara
ujud yang satu dengan yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan
fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada
pertengahan abad yang ke-17.
Jadi
adalah wajar saja kalau dalam kurun waktu itu tidak terdapat pembedaan antara
berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang kita ketahui adalah pengetahuan.
Dengan perkembangannya Abad Penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan
kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai
pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan
konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan.
Salah
satu cabang pengetahuan itu yang aberkembang menurut jalannya sendiri adalah
ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi
metodenya. Metode keilmuwan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang
merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan
dari ilmu apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.
Secara
metafisik ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah
mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Makin ciutnya kapling
masing-masing disiplin keilmuwan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab
dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang
dihadapi demikian banyak dan bersifat jelimet. Menghadapi kenyataan ini
terdapat lagi orang yang ingin memutar jarum sejarah kembali dengan mengaburkan
batas-batas otonomi masing-masing disiplin keilmuwan.
Pendekatan
inter-dislipiner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan
otonomi masing-masing disiplin keilmuwan yang telah berkembang berdasarkan
route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma
ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seprti logika,
matematika, statistika dan bahasa.
12. PENGETAHUAN
Tiap
jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang
diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita
secara maksimal maka kita harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa
diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita
ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaaan tertentu harus kita ajukan.
Sekiranya kita bertanya “apakah yang akan terjadi sesudah manusia mati?”, maka
pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab
secara ontologis ilmu membatasi diri dari pengkajian obyek yang berada dalam
lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan
yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa
menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya
memang tidak mencangkup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi
komputer maka komputer ilmu tidak diprogramkan untuk itu.
Metode
ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan utuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, jadi kalau kita ingin
membicarakan epistemologi, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan
aksiologi ilmu.
Ilmu
mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkungan pengalaman
kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab
permasalahan kehidupan sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam
menawarkann berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu, dapat
diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapinya. Oleh sebab itulah, sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia
mencoba memanipulasi dan menguasai alam.
Berdasarkan
landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita
mengembangkan landasan epistemologi yang cocok. Persoalan utama yang dihadapi
oleh atiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bgaimana mendapatkan
pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan
aspek ontologi dan aksiologi masing-masing.
Seni,
pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendiskripsikan sebuah gejala dengan
sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang
sederhana mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat
dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak seni
sastra), mencoba mengunmgkapkan obyek penelaah itu sehingga menjadi bermakna
bagi pencipta dan mereka meressapinya, seperti pikiran, emosi, dan pancaindera.
Seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya
pada “pengalaman hidup manusia perseorangan”.
Seni
terpakai pada hakikatnya mempunyai dua ciri yakni pertama, bersifat deskriptif
dan fenomenologis dan kedua, ruang lingkup terbatas. Sikap deskriptif ini
mencerminkan proses pengkajian yang menititk beratkan kepada penyilidikan
gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan untuk pengembangan
postulat yang bersifat teoritis-atomistis. Pada peradaban tertentu perkembangan
seni terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan
terkumpulnya lebih banyak pengetahuan-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada
peradaban lain pengembangannya bersifat kualitatif, artinya di kembangkan
konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis.
Ilmumencoba
menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai
kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjalasan yang
bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari
penafsiran yang bersifat rasional dan
metafisis. Pengkajian ilmu yang sekedar pada kulit luarnya saja tanpa berani
mengemukakan postulat-postulat yang bersumber penafsiran metafisis tidak akan
memungkinkan kita sampai kepada teori fisika nuklir.
Metode
eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam,
ketika ilmu dan pengetahuanlainnya mencapai kulminasi abad IX dan XII Masehi.
Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh
penting terhadap cara berpikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji
berbagai penjelasan terotis apakah seusai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir
deduktif dan induktif. Dalam bagan pohon silsilah logika dapat dilihat
perkembangan logika ilmiah yang merupakan pertemuna antara rasionalisme dan
empirisme.
Dengan
berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh
masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan
pengetahuan yang sangat cepat. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima
sebab pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal
sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk
dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah
dapat dipecahkan secara keilmuan.
13. METODE ILMIAH
Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi
ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua
pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan
dengan metode ilmiah.
Seperti
diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Dengan
cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karateristik-karateristik
tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji
yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang
dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara
berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan
bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Penjelasan
yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan
kesimpulan yang bersifat final sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang
bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusuunnya berbagai penjelasan
terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi secara rasional
didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya namun
dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang
tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu maka
dipergunakan pula cara berpikir induktif
yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi. Teori korespondensi
menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat
dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu
bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang dituju oleh pernyataan
tersebut.
Dilihat
dari perkembangan kebudayaan maka sikap manusia dalam menghadapi masalah dapat
dibedakan menurut ciri-ciri tertentu. Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah
ini maka Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni
tahap mistis, tahap antologis, dan tahap fungsional.
Yang dimaksudkan dengan tahap mistis adalah
sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya. Tahap antologis adalah sikap manusia yang tidak lagi merasakan
dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari
obyek disekitarnya serta memulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap obyek
tersebut. Sedangkan tahap fungsional adalah sikap manusia yang bukan saja
merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan
berdasarkan penelaahan terhadap obyek-obyek di sekitar kehidupannya, namun
lebih dari itudia memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan
dirinya. Tahap fungsional ini dibedakan dengan tahap antologis, sebab belum
tentu bahwa pengetahuan yang didapatkan pada tahp antologis ini, dimana manusia
mengambil jarak terhadap obyek disekitar kehidupan dan mulai menelaahnya,
mempunyai manfaat langsung terhadap kehidupan manusia.
Ilmu
mulai berkembang pada tahap antologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai
gejala-gejala empiris.Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut maka ilmu
tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan
penalaran.
Secara
antologis maka ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang
terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak
mempermasalahkan tentang hari kemudian atau surga dan neraka yang jelas berada
diluar pengalaman manusia. Agama, berbeda dengan ilmu, mempermasalahkan pula
obyek-obyek yang berada diluar pengalaman manusia,baik sebelum manusia ini
berada di muka bumi seperti mengapa manusia di ciptakan, maupun sesudah kematian manusia, seprti apa yang
terjadi setelah adanya kebangkitan kembali. Perbedaan antara lingkup
permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan berbedanya metode dalam
memecahkan masalah tersebut. Pada satu pihak agama akan memberi landasan moral
bagi aksiologi keilmuwan sedangkan di pihak lain ilmu akan memperdalam
kenyakinan beragama.Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu
mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula.
Teori
merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional
digabungkan dengan pengalaman empiris. Disini pendekatan rasional digabungkan
dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara
sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus mempunyai dua
syarat utama :
a. Harus
konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya
kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
b. Harus
cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya
sekiranya tidak didukung oleh penguji empiris tidak dapat diterima kebenarannya
secara ilmiah.
Jadi
logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif
dimana raasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem
dengan mekanisme korektif. Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenarannya
secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah
bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang
sedang kita hadapi. Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai petunjuk
jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena alam itu
sendirimembisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan.
Sering
kita temuikesalah pahaman dimana analisis ilmiah berhenti pada hipottesis ini
tanpa upaya selanjutnya untuk melakukanverifikasi apakah hipotesis ini benar
atau tidak. Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan
mengambilpremis-premis dari pengetahuan ilmiahyang sudah diketahui sebelumnya.
Sebenarnya dalam proses penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berpikirnya
adalah deduktif, kegiatannya tidaklah sama sekali terbebas dari proses
induktif.
Langkah
selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut
dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Proses pengujian
ini, seperti telah kita singgung sebelumnya, merupakan pengumpulan fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta ini kadang-kadang bersifat
sederhana yang dapat kita tangkap secara langsung dengan panca indera kita.
Kadang-kadang kita memerlukan instrumen yang membantu pancaindera kita
umpamanya teleskop dan mikroskop.
Alur
berpikir yang tercakup dalam metode ilmiahdapat dijabarkan dalam beberapa
langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir
ilmiah yang berintikan proses logic-hypothelico-verifikasi ini pada dasarnya
terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan
masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor terkait didalamnya.
2. Penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling
mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
3. Perumusan
hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang
diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.
4. Pengujian
hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis
yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan
kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotensis yang diajukan itu
ditolak atau diterima.
Keseluruhan
langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan
antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara
statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak
semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Langkah-langkah
yang telah kita sebutkan diatas harus dianggap sebagai patokan utama dimana
dealam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang berbagai variasi
sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti. Perbedaan utama dari
metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode pengetahuan lainnya,
menurut Jacob Bronowski adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik
dan eksplisit.
Sifat
eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif dalam kalangan
masyarakat ilmuwan. Ilmu merupakan pengetahuan milik umum (public knowledge)
dimana teori ilmiah yang ditemukan secara individual dikaji, diulangi, dan
dimanfaatkan secara komunal. Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara
empiris. Metode ilmiah ini pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin
keilmuwan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Metode ilmiah ini tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk
kedalam kelompok ilmu. Meskipun demikian beberapa aspek dari pengetahuan
tersebut dapat menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya umpamanya saja
aspek pengajaran bahasa, sastra dan matematika. Peneletian merupakan
pencerminan secara kongkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuannya.
Teori
ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian sesuai dengan tahap
perkembangan keilmuwan yang masih sedang berjalan. Sifat pragmatis dari ilmu
inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan dari
hakikat ilmu. Dalam perspektif inilah maka penelitian terhadap ilmu tidaklah
ditentukan oleh kesahihan teorinya sepanjang zaman melainkan terletak dalam
kemampuan memberikan jawaban terhadap permasalahan manusia dalam tahap
peradapan tertentu. Namun masalah ini menjadi sangat lain bila dihubungkan
dengan hal-hal yang bersifat sasi dimana manusia membutuhkan adanya kemutlakan
dan bukan sekadar kesementaraan yang bersifat relatif. Dalam mempertanyakan
eksistensi dirinya, tujuan hidupnya serta berbagai hal yang bersifat asasi lainnya
maka manusia membutuhkan pasangan yang lebih mantap. Dalam hal ini maka ilmu
dengan segala atributnya tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusia harus
berpaling kepada sumber lain yakni agama. Ilmu tidak berwenang menjawabnya
sebab hal ini berada diluar bidang penelaahannya.
Demikian
juga ilmu yang makin terspesialisasikan menyebabkan bidang pengkajian suatu
disilpin keilmuan makin sempit yang ditambah dengan berbagai pembatasan dalam
pengkajiannya seperti postulat, aasumsi dan prinsip membikin lingkup
penglihatan keilmuan semakin bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan
gejala deformation professionalle. Jadi pada hakikatnya penglihatan ilmu
bersifat sempit dan sektoral yang mendorong manusia untuk melakukan pendekatan
multi-displiner terhadap sebuah permasalahan.
14.
STRUKTUR
PENGETAHUAN ILMIAH
Pengetahuan yang di proses menurut metode ilmiah merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat diibaratkan sebagai piramida
terbalik dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifaat kumulatif dimana
penemuan pengatahuan ilmiah yang satu
memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan sedikit demi
sedikit dimana para ilmuwan memberikan sumbangannya menurut kemampuannya.
Tidaklah benar anggapan bahwa ilmu dikembangkan hanya oleh para jenius saja
yang bergerak dalam bidang keilmuan. Ilmu secara kuantitatif dikembangkan oleh
masyarakat keilmuan secara keseluruhan, meskipun secara kualitatif beberapa
orang jenius seperti Newton atau Einstein, merumuskan landasan-landasan baru
yang bersifat mendasar.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan berbgai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian
tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada.
Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan
berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau
tidak. Jadi pengetahuan ilmiah memiliki tiga fungsi yakni menjelaskan,
meramalkan dan mengontrol. Tannum possumus, ujar fancis Bacon, quantum
scimus! (kita dapat melakukan sesuatu sebatas yang kita tahu!).
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni
deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan genetik. Penjelasan
deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala
dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan
sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara
induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberi kepastian
seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti
“kemungkinan”, “kemungkinan besar” atau “hampir dapat dipastikan”. Penjelasan
fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur
dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik
atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor
yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu faktor tertentu daru sebuah disiplin keilmuan. Tujuan akhir dari
setiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat
utuh dan konsisten, namunhal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan
saja.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada
hakikatnya merupakan pernyataannya yang menyatakan hubungan antara dua
variabel atau lebih dalam suatu kaitan
sebab akibat. Pernyatan yang mencakup hubungan sebab akibat ini, atau dengan
perkataan lain hubungan kasualita, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang
akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab.
Teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang
“mengapa” suatu gejala-gejala terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan
kepada kita untuk meramalkan “apa” yang
terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan “alat”
yang dapat kita pergunakan utuk mengontrol gejala alam. Pengetahuan ilmiah
dalam bentuk teori dan hukum harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau
secara idealnya harus bersifat universal.
Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini
maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh dimana
teori-teori yang mempunyai tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dalam
suatu teori umum yang mampu mengikat keseluruhan teori-teori tersebut. Ilmu
teoretis, meminjam definisi Moritz Schlick, terdiri dari sebuah sistem
pernyataan. Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar terpadu secara
utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang mempersatukan yaitu teori.
Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin “teoretis”
konsep tersebut. Makin teoretis
diartikan dengan sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya
bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata.
Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya maka pengembangan hukum-hukum
ilmiah sukar sekali dilakukan dan “pada
hakikatnya telah ditiggalkan”. Untuk tujuan meramalkan, ilmu-ilmu sosial
mempergunakan metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau
tahap-tahap perkembangan. Disamping hukum maka teroi keilmuan juga mengenal
kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai
pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu yang
mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat
sebuah gejala.
Beberapa disiplin keilmuan ssering mengembangkan apa yang disebut
postulat dalam menyususn teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang
keberadaannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada
hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metod keilmuan.
Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melaui prosedur ini melainkan ditetapkan
begitu saja. Secara filsafati sebenarnya eksistensi postulat ini tidak sukar
untuk dimengerti.
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan yang baru
yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penilitian murni atau
penelitian dasar. Sedangkan penelitian
yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah
diketahui untuk memecahka masalah kehidupan yang bersifat praktis dinamakan
penelitian terapan.
Manusia disebut juga Homo faber (makhluk yang membuat peralatan)
disamping homo sapiens (makhluk yang berfikir) yang mencerminkan kaitan antara
pengetahuan yang bersifat teoritis dengan teknologi yang bersifat praktis.
Berbeda dengan pengatahuan lainnya seperti seni yang bersifat estetis maka ilmu
adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan
masalah-masalah praktis dalam kehidupannya. Meskipun pada tahap embrional
pengembangan ilmupun pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangan ke arah
kedewasaannya serta kemampuan bidang penerapannya, maka ilmu harus dibedakan
dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segu kemampuannya untuk
memecahkan masalah. Mochtar Lubis bahwa persamaan dan perbedaan ilmu dengan
seni patut diketahui dengan seksama dalam rangka meningkatkan sikap ilmiah
bangsa Indonesia dan mengingat sikap kita yang masih beroeriantasi kepada nilai
estetis. Dalam buku Nitisastra, yang diperkirakan Profesor Poer Bacaraka
ditulis pada akhir zaman Majapahit, disebutkan bahwa salah satu musuh bagi
orang muda dalam menuntut ilmu adalah “gila samara”.
V
Sarana Berpikir Ilmiah
15.
SARANA
BERPIKIR ILMIAH
Perbedaan utama
antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil
jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh pikiran binatang dipenuhi
oleh kebutuhan yang menyebabkan mereka secara langsung mencari objek yang
diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Manusia sering disebut
sebagai Homo Faber. Makhluk yang membuat alat dan kemampuan membuat alat itu
dimungkinkan oleh pengatahuan. Berkembangnya pengetahuan tersebut juga
memerlukan alat-alat untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan
sarana berfikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya
penelaahan ilmiah secara teratut dan cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya
merupakan alat yang membantu kegiatan ilimiah dlam berbagai langkah yang harus
ditempuh.
Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang terbentuk
pula. Sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan
tertentu, atau dengan perkataan lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi
yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secraa menyeluruh. Sarana berpikir
ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi sendiri
artinya kita mempelajari saran berpikir ilmiah ini seperti kita mempelajari
berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama,
sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu
merupakan kumpulan pengethuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua,
tujuan mempelajari sarana il;miah adalah untuk memungkinkan kita melakukan
penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan
untuk memdapatkan pengetahuannya yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah
kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi
cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya berdasarkan
metode ilmiah.
Untuk dapat melakuakan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan
sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan
alat komukasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana
bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan
pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola pikirnya maka ilmu
merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu
maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika
induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif
ini, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan menguasai metode penelitian
ilmiah yang pada hakikatnya merupaka pengumpulan fakta untuk memdukung atau
menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus
didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula salah satu
langkah kearah penguasaan tu adalah mengetahui dengan benar peranan
masing-masing berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah
tersebut.
16.
BAHASA
Keunikan manusia
sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak
papda kemampuan berbahasa. Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal
simbolikum, makhluk yang yang mempergunakan simbol, yang secara generik
mempunyai cakupan yang lebih luas daripada homo sapiens yakni makhluk yang
berpikir,sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa
mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berpikir secara sistematis dan
teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Tanpa kemampuan berbahasa ini maka
manusia tak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa
maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi
yang satu kepada generasi selanjutnya. Tanpa bahasa “simpul aldous huxley”
manusia tak berbeda dengan anjing atau monyet.
Manusia dapat
berpikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia
tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita
lakukan dalamkegiatan ilmiah. Demikian juga tanpa bahasa maka kita tak dapat
mengkomunikasika pengetahuan kita kepada orang lain. Bahasa memungkin manusia
berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual ditransformasikan
menjadi simbol-simbil bahasa yang bersifat abstrak.
Adanya simbol
bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu
secara berlanjut bahsa memberikan kemampuan untuk berpikir secara teratur dan
sistematik. Transformasi objek faktual menjadi sombol abstrak yang diwujudkan
lewat perbendaharaan kata-kata ini dirangkai oleh tata bahasa untuk
mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan. Kedua aspek bahasa
ini yakni aspek informatif dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita
pergunakan. Bahasa mengkomunikasikan tiga hal yakni buah pikiran, perasaan, dan
sikap. Atau sperti dinyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan manusia
mempunyai fungsi simbolik, emotif dan afektif. Fungsi simbolik dari bahasa menonjol
dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikaso
estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik
dan emotif ini.
Bahsa dapat kita
cirikan sebagai serangkaina bunyi. Dalam hal ini kit amempergunakan bunyi
sebagai alat untuk berkomunikasi. Manusia mempergunakan bunyi sebagai alat komunikasi yang paling utama.
Komunikasi dengan memperguanakan bunyi ini dikatakan juga sebagai komunikasi
verbal, dan manusia yang bermasyarakat dengan alat komunikasi bunyi, disebut
juga sebagai masyarakat verbal. Bahasa merupakan lambang dimana rangkaina bunyi
ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita sebagai kata
melambangkan suatu objek tertentu umpamanya saja gunung atau seekor burung
merpati. Perkataan gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang
kita berikan kepada dua objek tersebut.
Manusia
mengumpulkan lambang-lambang dan menyususn apa yang kita kenal sebagai
pembendaharaan kata-kata. Pembendaharaan pada hakikatnya merupakan akumulasi
pengalaman dan pemikiran mereka. Artinya dengan pembendaharaan kata-kata yang
mereka punyai maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan
pemikiran mereka. Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang
mempergunakan bahasa tersebut, para ilmuwan, pendidik, ahli politik, remaja dan
bahkan tukang copet. Namun itulah kenyataannya, tiap profesi bahkan copet
sekalipun mengembangkan bahasa yang khas untuk kelompoknya. Yang paling
menonjol biasanya adalah para remaja yang memperkaya pembendaharaan bahasa
dengan semangat mereka yang kreatif dan lugu. Adanya lambang-lambang yang
memungkinkan manusia dapat berpikir dan belajar dengan lebih baik.
Adanya bahasa ini
memungkinkan kita memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun objek
yang sedang kita pikiran tersebut tidak berada didekat kita. Dengan bahasa
bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat
mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan kepada orang lain. Dengan bahasa
kitapun dapat mengekspresikan sikap dan perasaan kita. Seorang bayi bila dia
sudah kenyang dan hatinya pun sangat senang, dia mulai membuka suara. Tidak
terlalu enak memang, tetapi tidak apa, sebab kalau dia mulai besar kelak dan
sudah belajar do-re-mi-fa-sol-la-si-do, bunyi yang dihasilkannya mungkin akan
jauh lebih menyenangkan. Lewat seni suara dia akan mengekspresikan perasaannya,
kedukaan dan kesukaan lewat liku nada kata-kata.
Dengan adanya
bahasa maka manusia hidup dlam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan
dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Pengalaman mengajarkan kepada
manusia bahwa hidup seperti ini kurang bisa diandalkan dimana eksistensi
hidupnya sangat tergantung pada faktor-faktor yang sukar dikontrol dan
diramalkan. Menurut Sigmun Freud, kebudayaan membentuk manusia dengan menekan
dorongan-dorongan alami mereka, mensublimasikannya menjadi sesuatu yang
berbudaya yang kemudian merupakan dasar bagi pembentukan kebudayaan. Kebudayaan
mempunyai landasan-landasan etika yang menyatakan mana tindakan yang baik mana
yang tidak. Lewat bahasa manusia menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam
dalam berbagai teori seperti elektronik, termodinamik, relativitas, dan
quantum. “ pengetahuan adalah kekuasaan” seru francis bacon, dan dengan
kekuasaan ini manusia mencoba mengerti hidupnya. Manusia tidak mau lagi
dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya.
Dengan ini manusia
memberi arti kapada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik yang
diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti bahkan kekuatan. Kekuatan dalam tuah
mantera dan jampi-jampi. Kekuatan dalam kepercayaan dan keyakinan moral.
Kekuatan yang memberinya dorongan dan arah dalam berkehidupan. Semacam pegangan
yang membedakan mana yang suci dan luhur, mana yang rendah dan menghinakan.
Tanpa bahasa maka semua ini tak mungkin ada. Seni merupakan kegiatan estetik
yang banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun
seni sastra. Dalam hal ini bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan
perasaan itu senderi melainkan juga merupakan ramuan untuk menjelmakan
pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastik, seperti
kita membuat patung dari tanah liat, dimana komunikasi yang terjadi mempunyai
kecenderungan emotif. Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang
sangat lain dengan komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk
menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini
berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari
unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bisa
si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang berupa x pula.
Berbahasa dengan
jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang
dipergunakan diungkapkan secara tersurat
(eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Berbahasa dengan jelas
artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran secara jelas. Kalau
kita teliti lebih lanjut maka kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada
dasarnya merupakan suatu pernyataan. Pernyataan itu melambangkan suatu
pengetahuan yang ingin kita komunikasikan kepada orang lain. Bahasa mempunyai
beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan
bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi
yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam
kenyataan hal ini tidak mungkin bahasa verbal, mau tidak mau tetap mengandung
ketiga unsur yang bersifat emotif, afektif, dan simbolik. Inilah salah satu
kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah, yang dikatakan oleh kemeny,
sebagai mempunyai kecenderungan emosional. Bahasa ilmiah pada hakikatnya
haruslah bersifat obyektif tanpa mengandung emosi dan sikap, atau dengan
perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan reproduktif. Kekurangan yang kedua
terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa.
Kelemahan yang lain dari bahasa adalah konotasi yang bersifat emosional seperti
telah kita bicarakan pada bagian terdahulu.
Masalah bahasa ini
menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ahli filsafat modern.
Kekacauan dalam filsafat menurut Witt
Genstein, disebabkan karena “ kebanyakan dari pernyataan dan
pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka untuk menguasai logika
bahasa “. Pengkajian filsafat, termasuk pengkajian hakikat ilmu, pada dasarnya
merupakan analisis logico-linguistik. Bagi aliran filsafat tertentu, seperti
filsafat analitik, maka bahasa bukan saja merupakan “ bahan dasar dan dalam hal
tertentu merupakan hasil akhir dari filsafat. Ahli filsafat seperti Henri
Bergson ( 1859-1941 ) membedakan antara pengetahuan yang bersifat absolut yang
didapat lewat perantaraan bahasa. Pengetahuan yang hakiki bukan didapat lewat
penalaran melainkan lewat intuisi tanpa diketahui kita sudah sampai disana,
dengan kebenaran yang membukakan pintu, entah dari mana datangnya. Dan bahasa,
menurut whitehead, “berhenti di belakang intuisi “.
17.
MATEMATIKA
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat
“artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya.
Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Bahasa verbal seperti telah dilihat sebelumnya mempunyai beberapa kekurangan
yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa
maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa
matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubuur,
majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika
dibikin secara artifisal dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku
khusus untuk masalah yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa
saja sesuai dengan perjanjian kita.
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa
verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang mungkinkan kita untuk
melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan
pernyataan yang bersifat kualitatif. Sifat kuantitatif dari matematika ini
meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang
lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan
cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap
kualitatif ke kuantitatif. Matematika menjadi sarana berpikir deduktif, karena
dalam proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang
kebenarannya telah ditentukan. Untuk menghitung jumlah sudut dalam segetiga
tersebut kita mendasarkan kepada premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar
maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga
adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh
sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Perkembangan matematika ditinjau dari ilmu dapat dibagi dalam tiga
tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Pada tahap sistematika maka ilmu
mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan
ini memungkinkan untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari
anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Dalam tahap yang kedua kita
mulai melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain,
kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Tahap selanjutnya
adalah tahap kuantitatif di mana kita
mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan
berdasarkan pengukuranyang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki. Bahasa
verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap
yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika
bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang obyek
tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan
pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut
suatu pola berpikir tertentu. Matematika merupakan pengetahuan yang di sususn
secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Disamping sarana berpikir
deduktif yang merupakan aspek estetik, matematika juga merupakan kegunaan
praktis dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan alat yang
memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah lewat
berbagai disiplin keilmuan. Matematika digunakan sebagai cara untuk
menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Kriteria
kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat, definisi
dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu matematika bersifat tunggal,
logika, jamak.
Dalam bagian terdahulu telah disebutkan dua pendapat tentang
matematika yakni dari Immanuel Kant (1724-1804) yang berpendapat bahwa
matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori dimana
eksistensi matematika tergantung dari panca indera serta pendapat dari aliran
yang disebut logistik yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berpikir
logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia
empiris. Akhir-akhir ini filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum
baru dalam aliran yang disebut intuisionis dengan eksponen utamanya adalah
seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan Brouwer (1881-1966).
Aliran yang ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943)dan terkenal
dengan sebutan kaum formalis. Tesis
utama kaum logistik adalah bahwa matematika murni merupakan cabang dari logika.
Tesis ini mula-mula dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848-1925) yang menyatakan
bahwa hukum bilangan (the law of number) dapat direduksikan dalam
proposisi-proposisi logika. Russell dan Whitehead, dalam bukunya Principia
Mathematica, melangkah lebih jauh dari Frege dan mencoba untuk membuktikan
bahwa matematika seluruhnya dapat direduksikan kedalam proposisi logika.
Pengetahuan tentang bilangan, kata frege merupakan pengertian
rasional yang bersifat apriori, yang kita pahami lewat “mata penalaran” (the
eye of reason) yang memandang jauh ke dalam struktur hakikat bilangan. Hakikat
sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan intuitif dalam berhitung
(counting) dan menghitung (calculating). Dengan demikian maka pernyataan George
Cantor (1845-1918) yang menyatakan bahwa lebih banyak bilangan nyata(real
number) dibandingkan bilangan asli(natural number) ditolak oleh kaum
intuisionis. Hal ini menyebabkan banyak sekali bagian dari matematika yang
secara kumulatif telah diterima harus ditolak, dan matematika itu sendiri harus
ditulis kembali secara rumit sekali.
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban
manusia itu sendiri. Sekitar 3.500 tahun S.M. bangsa mesir kuno telah mempunyai
simbol yang melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli
matematika yang pertama, yang melakukan pengukuran pasang surutnya sungai Nil
dan meramalkan timbulnya banjir, seperti apa yang sekarang dilakukan di abad ke
20 dikota metropolitan jakarta. Matematikan merupakan bahasa artifisial yang
dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan
usaha tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar.
Matematika makin lama makin bersifat
abstrak dan esoterik yang makin jauh dari tangkapan orang awam magis dan misterius seperti mantere-mantera pendeta mesir kuno.
Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban
manusia. Penduduk kota yang pertama “makhluk yang berbicara(talking animal),
kata Lancelot Hogben, dan penduduk kota kurun teknologi ini adalah “makhluk
yang berhitung”(calculating animal). Bagi ilmu itu sendiri matemayika
menyebabkan perkembangan yang sangat cepat. Tanpa matematika maka pengetahuan
akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memingkinkan untuk meningkatkan
penalarannya lebih jauh. Singkatnya, bagi bidang keilmuan modern, matematika adalah
sesuatu imperatif : sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran
deduktif. Suatu bidang keilmuan, apa pun juga bidang pengkajiannya, bila telah
menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif. Ilmu kualitatif adalah masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu
kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu kualitatif; dimana ilmu yang sehat,
seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh dan mendewasa. Angka tidak
bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur dalam menjelaskan persoalan
yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan
merupakan penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam
kalimat-kalimat yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari
tiap pengetahuan apakah itu ilmu, filsafat atau agama semuanya mempunyai
karakteristik yang sama sederhana dan jelas transparan bagai kristal kaca.
18.
STATISTIKA
Peluang merupakan
dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam
pemikiran Yunani kuno, Romawi dan Eropa dalam abad pertengahan. Teori mengenai
kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana
muslim namun bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini
dirumuskan maka dengan cepat bidang telaahan ini berkembang. Ilmu secara
sedehana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji
kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual, ddimana
konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindera, maupun
dengan mempergunakan alat-alat yang membantu pancaindera tersebut. Pengujian
secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang
membedakan ilmu dari pengetahuan lainnya. Pengujian merupakan suatu proses
pengumpulan fakta yang relevan dengan hepotesis yang diajukan.hepotesis
didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima
atau disahkan kebenarannya. Dan sebaliknya jika hepotesis tersebut bertentangan
dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak. Logika deduktif berpaling kepada
matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika
induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk
melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Dalam penalaran
deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang
dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah.
Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan
prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu
benar. Yang dapat dikatakan adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk
benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung
tingkat peluang ini dengan eksak. Penarikan kesimpulan secara induktif
menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang
harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Statistika
mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang
ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat
sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat
ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil
maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Statistika berfungsi meningkatkan
ketelitian pengamatan dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghadirkan
hubungan semu yang bersifat kebetulan. Statistika memberikan sifat yang
pragmatis kepada penelahaan keilmuan; dimana dalam kesadaran bahwa suatu kebenaran
absolut tidak mungkin dapat dicapai, berpendirian bahwa suatu kebenaran yang
dapat dipertanggungjawabkan dapat diperoleh. Penarikan
kesimpulan secara statistika memungkinkan untuk melakukan kegiatan ilmiah
secara ekonomis, di mana tanpa statistika hal ini tak mungkin dapat dilakukan.
Atau dipihak lain, kita melakukan penarikan kesimpulan induktif secara tidak
sah, dengan mengacaukan logika induktif dengan logika deduktif. Logika lebih
banyak dihubungkan dengan matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan
statistika, hanya logika deduktif yang hanya berkaitan dengan matematika
sedangkan logika induktif justru berkaitan dengan statistika. Hal ini
menimbulkan kesan seakan-akan fungsi matematika lebih tinggi dibandingkan
dengan statistika dalam penelaahan keilmuan. Secara hakiki statistika mempunyai
kedudukan yang sama pentingnya dalam penelaahan keilmuan. Pada sustu pihak, jika terlalu mementingkan
logika induktif maka kita mundur kembali kepada empirisme. Ilmu dalam
perkembangan sejarah peradaban manusia
telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode ilmiah yang
mendasarkan diri kepada keseimbangan maka harus dijaga pula keseimbangan antara
pengetahuan tentang matematika dan statistika. Pendidikan statistika harus
ditingkatkan agar setaraf dengan matematika. Karena hal ini bukan saja mencakup
aspek-aspek teknis namun lebih penting lagi
mencangkup pengetahuan mengenai hakikat statistika dalam kegiatan metode
ilmiah secara keseluruhan. Pendidikan statistika menurut Ferguson pada hakikatnya adalah pendidikan dalam
metode ilmiah.
Berpikir deduktif
merupakan suatu hal yang pasti, dimana jika kita mempercayai premis-premis yang
dipakai sebagai landasan penalarannya, maka kesimpulan penalaran tersebut juga
dapat kita percayai kebenarannya sebagaimana kata mempercayai premis-premis
terdahulu. Hal ini tidak berlaku dalam kesimpulan yang ditarik secara induktif,
meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaraninduktifnya adalah
sah, namun kesimpulannya mungkin saja salah. Logika induktif tidak memberikan
kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu
dapat ditarik.
Statistika
merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara
induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar teori statistika adalah teori
peluang. Teori peluang merupakan cabang dari matematika sedangkan statistika
merupakan disiplin tersendiri. Statistika dapat dibedakan sebagai statistika
teoretis dan statistika terapan. Statistika teoretis merupakan pengetahuan yang
mengkaji dasar-dasar teori statistika, dimulai dari teori penarikan contoh,
distribusi, penaksiran, dan peluang. Statistika penerapan merupakan penggunaan
statistika teoretis yang disesuaikan dengan bidang tempat penerapannya.
Statistika harus mendapatkan tempat yang sejajar dengan matematika agar
keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berpikir
ilmiah dapat dilakukan dengan baik. Statistika merupakan sarana berpikir yang
diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari
perangkat metode ilmiah maka statistika membantu untuk melakukan generalisasi
dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan
terjadi secara kebetulan.
VI
Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu
19.
ILMU
DAN MORAL
Sejak dalam
tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dakaitkan dengan tujuan perang.
Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi
sesama manusia dan menguasai mereka. Dipihak lain, perkembangan ilmu sering
melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring
dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusialah
akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi
berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia
melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Ilmu bukan saja
menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Sebenarnya sejak saat
pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam
prespektif yang berbeda. Ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi bertujuan
memanipulasi faktor-faktor yang terkait antara hutan gundul dan hutan banjir.
Dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka
dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan
ilmiah. Secara filsafati dapat dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi
aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat
realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah,
mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Epistemologi
membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam kegiatan keilmuan
disebut metode ilmiah.
Dihadapan dengan
masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak,
para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan
pertamamenginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik
secara ontologis maupun aksiologis. Golongan kedua sebaliknya berpendapat
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia
adalah ketika menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita. Ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat
atau mengubah hakikat kemanusiaan. Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan
tekad manusia menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan
terebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.
Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan
prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia
mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi
yang bersifat mendustakan kebenaran.
20.
TANGGUNG
JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu merupakan
hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di
bahunya. Fungsi selaku ilmuwan tidak berhenti pada penalaahan dan keilmuwan
secara individual namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan sampai
dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah
konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Semua penelaahan
ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya dengan proses
pengambilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Seorang ilmuwan harus tampil
kedepan dan berusaha mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah.
Seorang ilmuwan terpanggil dalam tanggungjawab sosial mengenai suatu hal karena
mempunyai kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki.
Kemampuan analisis
seorang ilmuwan mungkin menemukan alternatif dari obyek permasalahan yang
sedang menjadi pusat perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat
dipergunakan untuk mengubah kegiatan nonproduktif menjadi kegiatan produktif
yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Dengan kemampuan pengetahuan seorang
ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang
seyogyanya mereka sadari. Karakteristik lain dari ilmu terletak dalam cara
berpikirr untuk menemukan kebenaran. Pikiran manusia bukan saja dapat
dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan
kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan
mempertahankan hal-hal yany tidak benar. Eorang manusia biasa berdalih untuk
menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain. Dalih yang berbahaya adalah rasionalisasi yang disusun secara sistmatis
dan meyakinkan.
Kelebihan seorang
ilmuan dalam berpikir secara teratur dan cermat
inilah yang menyebabkan mempunyai tangggung jawab sosial. Ketika
berbicara kepada masyarakat sekitarnya harus mengetahui bahwa berpikir mereka
keliru, apa yang membuat mereka keliru, dan lebih penting lagi harga apa yang
harus dibayar untuk kekeliruan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran
sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral.
Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan
hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang
ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis
materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yanag baik.
Dibidang etika
tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun
memberi contoh. Dan harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif,
terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian
yang dianggap benar, dan kalaun perlu beranai mengakui kesalahan. Semua sifat
ini, beserta sifat-sifat lainnya yang tak disebutkan merupakan implikasi etis
dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Demikian juga masih terdapat
kebenaran-kebenaran lain disamping kebenaran keilmuan yang melengkapi hata
manusia yang hakiki. Namun bila kaum
ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun
secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat medern itu akan berdiri
dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari dari padanya sebab hal ini
merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak
akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.
21.
NUKLIR
DAN PILIHAN MORAL
Pada tanggal 2
agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat
Franklin D. Rooveselt yang memuat rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan
yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom ataom. Sebagai ilmuwan yang
menemukan rumus E=mc2 yang menjadi dasar bagi pembuatan bom atom yang dasyat
itu, Einstein merupakan orang lebih tahu mengenai akibat dari saran yang
dikemukakannya, baik secara fisik maupun secara moral.
Seorang ilmuwan
secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk
menindas bangsa lain meskipun yang dipergunakan itu adalah bangsanya sendiri.
Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik
pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para ilmuwan tidak
pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya manusia memerlukan
mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan,
agama, dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.
Salah satu musush kemanusiaan yang besar adalah peperangan. Perang
menyebabkan kehancuran, pembunuhan dan kesengsaraan. Tugas ilmuwanlah untuk
menghilangkan atau mengecilkan terjadinya peperangan ini meskipun hal ini
merupakan sesuatu hal yang mustahil terjadi. Perang merupakan fakta dari
sejarah kemanusiaan yang sukar untuk dihilangkan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk
kemaslhakatan masyarakat atau sebaliknya dapat disalahgunakan. Pengetahuan pada
dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan
kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya seorang ilmuwan menemukan
sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan maka apa yangharus dia
lakukan? Apakah dia menyembunyikan penemuan tersebut sebab dia merasa bahwa
penemuan itu lebih banyak menimbulkan kejahatan dibandingkab dengan kebaikan?
Ataukah dia akan bersifat netral dan menyerahkannya kepada moral krmanusiaan untuk menentukan
penggunaannya?
Menghadapi masalah tersebut majalah Fortune mangadakan angket yang
ditujukan kepada para ilmuwan di Amerika
Serikat. Angket tersebut menyimpulkan bahwa 78 persen ilmuwan di perguruan
tinggi , 81 persen ilmuwan di bidang pemerintahan dan 78 persen ilmuan dalam
industri berkeyakinan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil
penemuan-penemuan apa pun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apa pun
juga yang akan jadi konsekuensinya.
Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya
bahwa ilmu pengetahuan merupakan
rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjutnya. Kemajuan
ilmu pengetahuan tidak melalui loncatan-loncatan yang tidak berketentuan melainkan melalui proses komulatif secara
teratur. Usaha menyembunyika kebenaran bagi proses kegiatan ilmiah merupakan kerugian dalam kemajuan ilmu
pengetahuan seterusnya. Dalam penemuan ini maka ilmu pengetahuan itu berssifat
netral.
Dalam netral inilah ilu pengetahuan terebas dari nilai-nilai yang mengikat. Dalam sapek-aspek
lainnya seperti apa yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan dan bagaimana
pengetahuan itu dipergunakan mau tidak mau seorang ilmuwan terikat secara moral
dalam artian mempunyai peferensi dan memilih pihak, dalam menentukan
masalah apa yang telah ditelaahnya maka
seorang ilmuwan secara sadar atau tidak sudah menentukan pilihan moral. Hal ini
bahkan menjorok sampai penyusunan hipotesis. Walaupun begitu maka dalam hasil
penemuan akhirnya seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan sesuatu.
Seorang ilmuwan yang atas landasan moral memilih untuk membuktikan
bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi (dia terikat pada generasi muda)
atau membuktikan bahwa hasil pembangunan itu efektif (dia terikat kepada
kebijaksanaan pemerintah) maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netral dan
membebaskan diri dari keterkaitannya yang membelenggu dia secara sadar atau
tidak.
Einstein menulis surat historis yang berisikan bahwa tidak
cukup bagi kita hanya memahami ilmu agar hasil pekerjaan kita membawa berkah
bagi manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu
merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis. Ilmu tidak saja memerlukan
kemampuan intelekstuak namun juga keluhuran moral. Tanpa itu maka ilmu hanya
kan menjadi frankenstein yang akan mncekik penciptanya dan menimbulkan
malapetaka.
22.
REVOLUSI
GENETIKA
Ilmu dala perspektif sejarah kemanusia mempunyai puncak
kecermelangan masing-masing, namun seperti kotak pandora yang terbuka,
kecermelangan itu sekaligus membawa malapetaka. Revolusi genetika merupakan
babakan baru dala sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini manusia tidak
pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan
berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaaha ilmiah yang berkaitan
dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini
dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi dan tidak membidik secara
langsung manusia sevara langsung sebagai objek penelaahan. Dengan penelitian
genetika maka maslahnya menjadisangat lain, kita tidak lagi menelaah
organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan
kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek
penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan
kemudahan , melainkan teknologi yang mengubah manusia itu sendiri.
Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam
memncapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dengan hakikat
kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh
ilmiah. Analisis substansi dari jalan pikiran tersebut diatas membawa kita
kepada beberapa permasalahan yang bersifat seperti, sekiranya kita mampu
membikin manusia yang IQ-nya 160 apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa kita
akan berbahagia (sekiranya diterima bahwa kebahagiaan merupakan salah satu
tujuan hidup manusia)? Dalam hal ini ilmu tidak bisa memberikan jawaban yang
bersifat apriori (sebelumnya) sebab kesimpulan ilmiah baru bisa ditarik setelah
proses pembuktian yang besifat aposteriori (sesudahnya). Jadi bila kita secara
normal bersedia meluluskan penciptaan
manusia yang mempunyai IQ 160 maka dengan ilmu pun tidak bisa memberikan
jaminan bahwa dia berbahagia.
Kita harus mencoba dulu dan baru kita akan mengetahui jawabannya,
mungkin demikian jawabannya para ahli genetika. Hal ini membawa permasalahan
moral yang baru.belum lagi bila diingat bahwa secara moral mungkin saja orang
tidak sependapat bahwa kemuliaan manusia tidaka ada hubungannya dengan IQ 160.
Kemuliaan manusia bagi sebagian orang bukan terletak pada atribut-atribut fisik
melainkan pada amal perbuatannya. Demikian juga mungkin saja atribut-atribut
fisik itu mempunyai makna religius tertentu dalam perspektif kehidupan yang
bersifsat teleologis. Mengapa mengutik-ngutik atribut yang terkait dengan
kepercayaan seseorang yang bersifat sakral? Bahkan pun bila ilmu bisa menjawab
segudang pertanyaan mengenai kausalita fisik, ilmu tetap tidak berhak menjamah
daerah kemanusiaan ini yang bersifat transendental. Bila diingat bahwa ilmu pun
sama sekali buta dalam hal ini, tak satupun jawaban yang dipunyainya kecuali
hipotesis yang ingin dibuktikannya.
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu sikap yang menolak terhadap
dijadikannya manudia sebagai objek penelitian genetika. Secara moral kita
lakukan evaluasi etis terhadapa suatu objek yang tercakup dalam .... (ontologi)
ilmu.
VII
Ilmu dan Kebudayaan
23.
MANUSIA
DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E. B. Taylor pada
tahun 1871, lebih dari saratus tahun yang lalu, dalam buku Primitive culture
dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni,moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kuntjaraningrat (1974) secara
lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemsyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian
serta sistem teknologi dan peralatan.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali.
Kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Menurut ashley Montagu kebudayaan
mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.Maslow
mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi,
rasa aman, afialisi, harga diri dan pengembangan potensi.
Nilai-nilai budaya adalah jiwa dai kebudayaan dan menjadi dasara
segenap wujud kebudayaan. Tata hidup merupakan penceerminan yang konkret dari
nilai budaya yang bersifat abstrak. Sarana kebudayaan merupakan perwujudan yang
bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan
kemudahan dalam bentuk berkehidupan.
Kebudayaan dan pendidikan
Nilai teori adalah hakiakt penemuan kebenaran lewat berbagai metode
hasil seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Masalah pertama yang
dihadapi pendidikan adalah menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus
dikembangkan dalam diri anak.
Untuk menentukan nilai-nilai yang patut mendapatkan perhatian yaitu
memperkirakan skenario dari masyarakat dimasa yang akan datang untuk mempunyai
karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1.
Memperhatikan
tujuan dan strategi pembangunan nasional,
2.
Pengembangan
budaya yang berdasarkan Pancasila.
Masyarakat modern mempunyai indikator sebagai berikut:
1.
Lebih
bersifat analitik,
2.
Lebih
bersifat individual daripada komunal.
Nilai teori berkaitan erat dengan aspek penalaran , ilmu dan
teknologi. Nilai ekonomi berpusat kepada pembangunan sumber dan benda secara
lebih efektif dan efisien. Indikator kedua menimbulkan pergeseran dalamnilai
sosial dan nilai kekuasan. Pengembangan kebudayaan nasional ditujukan kearah
terwujudnya suatu peradaban yang menerminkan Pancasila dengan adanya
kreativitas, ang diartikan sebagai kemampuan untuk mencari pemecahan baru
terhadap suatu masalah.
Nilai agama berfungsi sebagai sumber moral kehidupan bagi segenap
kegiatan. Hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah
ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia.
24.
ILMU
DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan
unsur dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisis yang saling
tergantung dan saling mempengaruhi.dalam rangka pengembangan kebudayaan
nasional ilmu mempunyai peranan ganda, yaitu sumber nilai yang mendukung
terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional dan pengisi pembentukan watak
suatu bangsa.
Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir
menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagi berpikir
ilmiah. Berpikir imlih merupakan keguatan berpilira yang memenuhi persyaratan
tertentu yang hakikatnya mencakup dua kriteria yaitu mempunyai alur jalan
pikiran yang logis dan didukung fakta empiris. Ialah Karakteristik ilmu ialah
sifat rasional, logis, obyektif dan terbuka dan juga sifat kritis merupakan
karakteristik yang melandasi keempat sifat tersebut.
Ilmu sebagai Aas Moral
Kriteria kebanaran dalam ilmu adalah karakteristik berpikir yang
bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan,
artinya menetapkan suatu pernyataan atas dasar penarikan kesimpulan kepada
argumentsi yang terkandung dalam suatu pernyataan. Kebenaran bagi kaum ilmuwan
mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan yang universal. Dau karakteristik asas
moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebnaran dan pengabdian secra
universal.
Nilai-nilai Ilmiah dan pengembangan kebudayaan Nasional
Pengembangan kebudayaan nasional adalah perubahan dari kebudayaan
sekarang yang bersifat konvensional kearah situasi kebudayaan yang lebih
mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan pada
dasatnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional .
Ke Arah Peningkatan Peranan Keilmuan
Ilmu bersifat mendukung pengembangan kebudayaan nasional.
Langkah-langkah yang sistemin dan sistematik untuk meningkatkan peranan dan
kegiatan keilmuan mengandung beberapa pemikiran yaitu:
1.
Ilmu
merupakan bagian kebudayaan,
2.
Ilmu
merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran,
3.
Asumsi
dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya
terhadap mtode yang digunakan,
4.
Pendidikan
keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral,
5.
Pengembangan
bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat
terutama yang menyangkut keilmuan,
6.
Kegiatan
ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan strutur kekuasaan.
25.
DUA
POLA KEBUADAYAAN
Adanya dua pola
kebudayaan masyarakat ilmuwan dan non-ilmuwan yang menghambat kamajuan dibidang
ilmu dan teknologi. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa
kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kadalam dua golongan yakni ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan kedua ilmu ini bersifat teknis yang tidak
mejurus kepada perbedaan yang fundamental. Dasar ontologis, epistemologis, dan
aksiologis dari kedua ilmu tersebut yaitu sama. Metoda yang dipergunakan dalam
mendapatkan pengetahuannya adalah metode ilmiah yang sama, tak terdapat alasan
yang nersifat metodologis yang membedakan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
Perbedaan tersebut
tidak mengubah apa yang menjadi tujuan ilmu untuk mencari penjelasan dari
segala sesuatu yang ditemukan dapat mengetahui sepenuhnya hakikat obyek yang
dihadapi. Dalam soal pengukuran yang menjadi dasar bagi suatu analisis
kuantitatif maka ilimu-ilmu sosial menghadapi dua masalah. Masalah yang pertama
adalah sukarnya melakukan pengukuran karena mengukur aspirasi atau emosi
seorang manusia adalah tidak semudah mengukur panjang sebuah logam. Masalah
yang kedua adalah banyaknya variabel yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Teori
ilmu-ilmu sosial merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang
dihadapi, seperti juga ilmu-ilmu alam, maka jawaban yang diberikan ilmu-ilmu
sosial harus makin bertambah cermat dan tepat. Pengukuran yang rumit dan
variabel yang membutuhkan pengetahuan matematika dan statis tika yang lebih
maju dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Hakikat matematika dalam kaitannya
dengan eksistensi ilmu. Tujuan matematika yang pertama adalah mencakup
penguasaan matematika secara teknis dan mendalam dalam rangka penalaran
deduktif untuk menemukan kebenaran. Tujuan yang kedua adalah penguasaan matematika sebagai alat komunikasi
simbolik.
Penalaran deduktif
yang menyangga pembentukan rumus tersebut bisa dikuasai secara kualitatif atau
dikombinasikan dengan analisis matematika
yang tidak terlampu teknis. Tujuan pendidikan pendidikan yang pertama
yakni pendidikan analitik maka yang penting adalah penguasaan berpikir
matematik yang memungkinkan analisis sampai terbebtuknya rumus statistika
tersebut. Tujuan pendidikan yang kedua yakni pendidikan simbolik maka yang
penting adalah pengetahuan mengenai kegunaan rumus tersebut serta penalaran
deduktif dalam penyusunan meskipun tidak
secara seluruhnya merupakan aanalisis matematika. Pembagian jurusan berdasarkan
bidang keilmuan melainkan berdasarkan tujuan pendidikan matematika yakni
memilih jurusan berdasarkan bakat matematikanya. Peningkatan pendidikan
keilmuan harus ditekankan kepada penguasaan cara berpikir ilmiah yang ditopang
oleh sarana-sarana berpakir ilmiah termasuk matematika dan statistika.
VIII
Ilmu dan Bahasa
26.
TENTANG
TERMINOLOGI: ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN SAINS?
Dua jenis ketahuan
Terminologi ketahuan adalah terminolohi antifisial yangbersifat
sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai
keseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui
sesuatu. Ketahuan atau knowledge merupakan terminologi generik yang mencakup
segenap bentuk apa yang diketahui. Seluruh bentuk dari anggota kelompok
ketahuan digolongkan ke dalam kategori ketahuan dimana masing-masing bentuk
dapat dicirikan oleh karakteristik obyek ontologis, landasan epistemologis, dan
landasan aksiologis masing-masing.
Beberapa Alternatif
Alternatif pertama adalah menggunakan ilmu pengetahuan untuk
science dan pengetahuan untuk knowledge. Yang kedua adalah didasarkannya kepada
asu si bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah dua kata benda yakni ilmu
dan pengetahuan.
Sains:
Adopsi yang kurang dapat dipertanggung jawabkan
Sains adalah terminologi yang dipinjam dari bahasa inggris yakni
Science, yang dalam bahasa Indonesia sains adalah sinonim dengan science adalah
ke-sains-an atai saintifik.
27.
QUO
VADIS?
Dalam Konperensi Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III LIPI yang
berlangsung dijakarta pada tanggal 15-19 september 1981ada yang menyarankan
menggunakan terminologi ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge(ilmu
dalam perspektif moral, sosial dan politik). Alasan untuk perubahan tersebut
adalah Ilmu (species) adalah sebagian pengetahuan (genus). Dengan demilian ilmu
adalah pengetahuan yang memiliki cirii-ciri tertentu yakni ciri-ciri ilmiah,
atau dengan perkataan lain ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah
(scientiific knowledge) menurut tata bahasa indonesia berdasarkan hukum
diterangkan atau menerangkan maka ilmu pengetahuan adalah ilmu D yang bersifat
Mpengetahuan M dan pernyataan ini pada hakikatnya adalah salah sebab ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah. Kata ganda dari dua kata
benda yang termasuk kategori yang sama biasanya menunjukkan dua obyek yang
berbeda, dengan penafsiran yang sama maka ilmu pengetahuan dapat diartikan
sebagai ilmu dengan pengetahuan.
Dalam konperensi tersebut terdapat pendapat lain yang sangat
berbeda yakni ilmu merupakan genus dimana terdapat bermacam species seperti
ilmu kebatinan,ilmu agama, ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian
maka terminologi ilmu pengetahuan adalah sinonim dengan scientific knowledge.
Ilmu adalah sinonim dengan knoledge dan pengetahuan dengan science yang
berdasarkan hukum DM maka ilmu pengetahuan adalah ilmu knowledge yang bersifat
pengetahuan scientific. Ada beberapa kelemahan dari pilihan amatematika bukan
ilmu, namun penggunaan bahasa sehari-hari dengan menyebut ilmu matematika sekiranya
hanya terbatas untuk tujuan identifikasi maka hal ini tidak terlalu mengganggu.
Dengan mengambil ilmu pengetahuan untuk scientific knowledge, ilmu untuk
knowledge, dan pengetahuan untuk science maka harus diadakan beberapa perubahan
antara lain, metode ilmiah harus diganti dengan metode pengetahuan. Ilmu-ilmu
sosial (the social science harus diganti dengan pengetahuan-pengetahuan sosial
atau ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Ilmuwan harus diganti dengan ahli pengetahuan. Hal ini berarti bahwa
segenap apa yang kita ketahui termasuk
science adalah pengetahuan dan segenap apa yang tidak diketahui adalah
ketidaktahuan.
28.
POLITIK
BAHASA NASIONAL
Bahasa mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama sebagai sarana
komunikasi antarmanusia (fungsi komunikatif) dan kedua sarana budaya yang
mempersatuakan kelompok manusia (fungsi kohesif atau integratif). Pada tangga
28 Oktober 1928 bangsa indonesia memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional. Alasan yang lebih ditekankan pada fungsi kohesif Bahasa Indonesia
sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni
Indonesia.
Bahasa mencakup tiga unsur yakni bahasa selaku alat komunikasi
untuk menyampaikan pesan yang berkonotasi perasaan (emotif), berkonotasi sikap
(afektif), berkonotasi pikiran (penalaran). Perkembangan bahasa pada dasarnya
adalah pertumbuhan ketiga fungsi komunikatif tersebut agar mampu mencerminkan
perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang mempergunakan bahasa
tersebut. Perkembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, haruslah
memperhatikan ketiga unsur dengan seimbang, untuk itu haruslah dipikirkan
polotik bahasa yang mengakaji permasalahan secara integral dan menyeluruh.
Agar dpat mencerminkan kemajuan zaman maka fungsi komunikasi bahasa
harus secra terus menerus dikembangkan namun harus dujaga agar fungsi kohesif
yang merupakan milik yang sangat berharga bdalam berbangsa dan bernegara tetap
terpelihara atau dapat ditingkatkan lagi. Bahasa berkembang terisolasikan dari
perkembangan sektor-sektor sehingga bahasa bersifat tidak berfungsi dan bahkan
jontra produktif (counter productive).
IX
Penelitian dan Penulisan Ilmiah
29 . STUKTUR PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH
pemilihan bentuk dan cara penulisan dari khasanah yang tersedia
merupakan maslah selera dan prefensi perorangan denganmemperhatika berbagai
faktor yang lainnya seperti masalah apa yang sedang dikaji, siapakah pembaca
tulisan ini dan dalam rangka kegiatan keilmuan apa karya ilmiah ini
disampaikan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka akan dicoba untuk membahas
laur-alur jalan pikiran yang terdapat dalam sebuah penelitian ilmiah yang
dikaitkan dengan proses penulisan.
Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentsasi penalaran
keilmuan yang dikomunikasikan leat
bahasa tulisan. Untuk itu maka mutlak diperlukan penguasaan yang baik mengenai
hakikat keilmuan agar dapat melakukan penelitian dan sekaligis
mengkomunikasikannya secara tertulis. Struktur penulisan ilmiah yang secara
logis dan kronologis mencerminkan kerangka penalaran ilmiah. Pembahasan ini
ditujukan ketika menulis tesis, disertasi, laporan penelitian atau publikasi
ilmiah lainnya dengan harapan agar lebih memahami logika dan arsitektur
penulisan ilmiah dengan mengenal kerangka berpikir firasati maka akan lebih
mudah menguasai hal-hal yang bersifat teknis.
Pengajuan masalah
Langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan
masalah. Suatu maslah tidak akan pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari
faktor-faktor lain. Selalu terdapat konstelasi yang merupakan latar belakang
dari suatu maslah tertentu. Identifikasi masalah adalah suatu tahap permulaan
dari penguasaan masalah dimana suatu objek dalam suatu jalinan situasi tertentu
dapat kita kenali sebagai suatau masalah. Pembatasan masalah merupakan upaya
untuk menetapkan batas-batas pemasalahan dengan jelas, yang memungkinkan kita
untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam lingkup
permsalahan, dan faktor mana yang tidak. Perumusan masalah merupakan upaya
untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang ingin kta carikan
jawabannya. Perumusan masalah dijabarkan dari identifikasi dan pembatasan masalah. Masalah yang
dirumuskan dengan baik, berarti sudah setengah dijawab. Perumusan masalah yang
baik bukan saja membantu memusatkan pikiran namun sekaligus mengarahkan juga
cara berpikir. Tujuan penelitian adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan
kegiatan yang dilakukan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan. Setelah itu
maka dibahas kemungkinan kegunnaan penelitian yang merupakan manfaat yang dapat
dipetik dari pemecahan maslaah yang dapat dari penelitian.. jadi enam kegiatan
dalam langkah pengajuan masalah tampaj seperti:
PENGAJUAN MASALAH
1.
Latar
belakang masalah
2.
Identifikasi
masalah
3.
Pembatasan
masalah
4.
Perumusan
masalah
5.
Tujuan
penelitian
6.
Kegunaan
penelitian
Penyusunan kerangka teoretis
Langkah kedua dalam metode ilmiah adalah mengajukan hipotesis.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang
diajukan. Cara ilmiah dalam memecahkan persoalan pada hakikatnya adlah
mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji
persoalan agar kita mendapatkan jawaban yang dapat kita andalkan. Hal yang
berarti bahwa dalam menghadapai permasalahan yang diajukan maka kita
mempergunakan teori-teori ilmiah sebagai alat yang membantu kita dalam
menemukan pemecahan.
PENYUSUNAN KERANGKA TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
1.
Pengkajian
mengenai teori-teori ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis.
2.
Pembahasan
mengenai penelitian yang lain relevan.
3.
Penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis
sebagi tercantum dalam butir (1) dan (2) dengan menytakan secara tersurat
postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan.
4.
Perumusan
hipotesis.
Metodologi penelitian
Langkah berukitnya adalah menguji hipotesis tersebut secara empiris, artinya kita
melakukan verivikasi apakah pernyataan yang dikandung oleh hipotesis yang
diajukan tersebut didukung atau tidak oleh kenyataan yang bersifat faktual.
Proses verivikasi dituntut untuk melakukan penarikan kesimpulan secara
induktif.verifikasi ditujukan kepada upaya untuk menarik kesimpulan yang
bersifat umum dari fakta-fakta yang bersifat individual. Masalah yang dihadapi
dalam proses verifikasi adalah bagaimana prosesdur dan cara dalam pengumpulan
dan analisi data yang ditarik memnuhi persyaratan berpikir induktif. Penetapan prosedur dan cara disebut
metodologi penelitian.
Metodologi adalah pengetahuan tentang metode-metode . metodologi
penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam
penelitian. Kegiatan pertama dalam penyusunan metodologi penelitian adalah
menyatakan secara lengkap dan operasional tujuan penelitian yang mencakup bukan
saja variabel-veriabel yang akan diteliti dan karakteristik hubungan yang akan
diuji malainkan sekaligus juga tingkat keumuman dari kesimpulan yang akan
ditarik.
Metodologi Penelitian
1.
Tujuan
penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang
mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan
diteliti.
2.
Tempat
dan waktu penelitian dimana akan dilakukan generalisasi mengenai
variabel-variabel yang diteliti.
3.
Metode
penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat
generalisasi yang diharapkan.
4.
Teknik
pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian, tingkat keumuman dan
metode penelitian.
5.
Teknik
pegumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan,
sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendpatkan data.
6.
Teknik
analisis data yang mencakup langkah-langkah dan teknik analisis yang
dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis.
Hasil Penelitian
Langkah berikutnya adalah melaporkan apa yang kita temukan
berdasarkan hasil penelitian. Dalam
membahas hasil penelitian maka harus selalu siingat bahwa tujuan kita adalah
membandingkan kesimpulan yang ditarik dari data yang telah dikumpulkan dengan
hipotesis yang telah diajukan. Langkah berikutnya adalah memberikan penafsiran
terhadap keseimbangan analisis data, menafsirkan hubungan yang bersifat
statistis. Secara singkat hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan
sebagai berikut:
Hasil penelitian
1.
Menyatakan
variabel yang diteliti;
2.
Menyatakan
teknik analisis data;
3.
Mendeskripsikan
hasil analisis data;
4.
Memberikan
penafsiran trhadap analisis data;
5.
Menyimpulkan
pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.
Ringkasan dan kesimpulan
Kesimpulan pengujian hipotesis kemudian dikembangkan menjadi
kesimpulan penelitian yang ditulis dalam bab sendiri. Kesimpulan penelitian
merupakan sistesis dari keseluruhan aspek yang terdiri dari masalah, kerangka
teoretis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian. Sintesis
ini membuahkan kesimpulan yang ditopang oleh suatu kajian yang bersifat terpadu
dengan meletakkan berbagai aspek penelirian dalam perspektif yang menyeluruh.
Ringkasan dan Kesimpula?
1.
Deskripsi
singkat mengenai masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi penelitian
dan penemuan penelitian;
2.
Kesimpulan
penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut di
atas;
3.
Pembahasan
kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain
dan pengetahuan ilmiah yang relevan;
4.
Mengkaji
implikasi penelitian;
5.
Mengajukan
saran.
Abstrak
Seluruh laporan penelitian kemudian disarikan dalam sebuah
ringkasan yang disebut abstrak. Abstrak merupakan ringkasan keseluruhan
kegiatan penelitian yang paling banyak terdiri dari tiga halaman. Keseluruhan
abstrak merupakan sebuah sesi yang utuh san tidak dibatasi oleh sub judul.
Daftar pustaka
Daftar pustaka merupakan inventarisasidari seluruh publikasi ilmiah
maupun nonilmiah yang diperguanakan sebagai dasar begi pengkajian yang
dilakukan.
Riwayat Hidup
Riwayat hidup merupakan deskripsi dari latar belakang pendidikan
dan pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan penulisan ilmiah yang disampaikan.
Usulan penelitian
Usulan penelitian mencakup langkah pengajuan masalah, penyusunan
kerangka teoretis dan pengajuan hipotesis serta metodologi penelitian.
Lain-lain
Lain-lain berkaitan dengan daftar isis, lembar persetujuan dan
bahkan pemberian nomor halaman.
Penutup
30.
TEKNIK
PENULISAN ILMIAH
Teknik penulisan ilmiah mempunyai dua aspek yakni gaya penulisan
dalam membuat pernyataan ilmiah serta teknik notasi dalam menyebutkan sumber
dari pengetahuan ilmiah yang dipergunakan dalam penulisan. Komunikasi ilmiah
harus bersifat jelas dan tepat yang memungkinkan proses penyampaian pesan yang
bersifat reproduksi dan impersonal. Penulis ilmiah harus menggunakan bahasa
yang baik dan benar. Tata bahasa merupakan ekspresi dari logika berpikir : tata bahasa yang tidak cermat merupakan
pencerminan dari logika berpikir yang tidak cermat pula. Langkah pertama dalam
menulis karangan ilmiah yang baik adalah mempergunakan tata bahasa yang benar.
Masalah yang terjadi pada informasi mengakibatkan dua kerugian. Pertama, dangan
terlalu banyaknya informasi tentang manajeman yang tidak diperlukan dalam
langkah pembahasan. Kedua, terpisahnya sumber informasi pada saat informasi itu
diperlukan yang menyebabkan melemahnya argumentasi yang sedang disusun.
Komunikasi ilmiah bersifat reproduktif, artinya bahwa penerima
pesan mendapatkan kopi yang benar-benar sama dengan prototipe yang disampaikan
si pemberi pesan, seperti fotokopi atau sebuah afdruk foto. Komunikasi bersifat
impersonal, arinya figur yang muncul secara dominan dalam seliruh pernyataan.
Teknik notasi ilmiah yang pertama, harus dapat di identifikasi orang yang membuat pernyataan tersebut.
Kedua, dapat diidentifikasi media komunikasi ilmiah dimana pernyataan itu
dusampaikan apakah itu makalah, buku, seminar, lokakarya dan sebagainya. Ketiga,
dapat diidentifikasi lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta
tempat berdosimili dan waktu penerbitan itu dilakukan. Sekiranya pernyataan
ilmiah itu tidak diterbitkan melainkan disampaikan dalam bentuk makalah untuk
seminar atau lokakarya maka harus disebutkan tempat, waktu, dan lembaga yang
melakukan kegiatan tersebut.
Dalam teknik notasi ilmiah dengan mempergunakan catatan kaki,
umpamanya, terdapat dua variasi. Variasi pertama ialah bahwa catatan kaki itu
ditaruh dalam halaman yang sama, sedangkan dalam variasi kedua catatan kaki itu
seluruhnya dikelompokkan dan ditaruh pada akhir sebuah bab. Fungsi pertama dari
catatan kaki adalah sebagai sumber informasi bagi pernyataan imiah yang dipakai
dalam tulisan. Kedua, teknik pengetikan yang lebih mudah dan sebagai tempat
bagi catatan-catatan kecil, yang sekiranya diletakkan dalam tubuh utama
laporan, akan mengganggu keseluruhan
penulisan.
31.
TEKNIK
NOTASI ILMIAH
Dalam
bagian ini akan dicoba untuk menguraikan hal-hal yang bersifat pokok dan salah
satu teknik notasi ilmiah yang mempergunakan catatan kaki. Diharapkan dengan
menguasai aspek-aspek yang bersifat esensial maka seseorang akan mampu
mengkomunikasikan gagasannya secaara ilmiah, atau paling tidak mampu memahami
sebuah karya ilmiah. Tanda catatan kaki diletakkan di ujung kalimat yang kit
akutip mempergunakan angka Arab yang diketik naik setengah spasi. Catatan kaki
di tiap bab di beri nomer urut mulai dari angka 1 sampai habis dan diganti
dengan nomor 1 kembalin pada bab baru. Satu kalimat mungkin terdiri dari
beberapa catatan kaki sekiranya kalimat itu terdiri dari beberapa kutipan.
Dalam keadaan seperti ini maka tanda catatan kaki diletakkan diujung kalimat
yang dikutip sebelum tanda baca penutup. Sedangkan satu kalimat yang seluruhnya
terdiri dari satu kutipan tanda catatan kaki diletakkan sesudah tanda
bacapenutup kalimat. Catatan kaki ditulis dalam satu spasi dan dimulai dari
pnggir, atau dapat dimulai setelah beberapa ketukan tik dari pinggir, asalkan
dilakukan secara konsisten.
Kutipan
yang diambil dari halaman tertentu disebutkan halamannya dengan singkatan
p(pagina) atau hlm(halaman). Sekiranya kutipan itu disarikan dari beberapa
halaman umpamanya dari halaman 1 sampai dengan 5 maka ditulis pp 1-5 atau hlm
1-5. Jika nama pengarangnya tidak ada maka langsung aja dituliskan nama bukunya
atau dituliskan Anom. (Anonymous) di depan nama buku tersebut. Sebuah buku yang
diterjemahkan harus ditulis baik pengarang maupun penerjemah buku tersebut
sedangkan sebuah kumpulan karangan cukup disebutkan nama aditornya.
Sebuah
makalah yang dipublikasikan dalam majalah, koran, kumpulan karangan atau
disampaikan dalam forum ilmiah dituliskan dalam tanda kutip yang disertai
dengan informasi mengenai makalah tersebut :
Pengulangan
kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan memakai notasi op. Cit. (opera citato:dalam karya yang telah
dikutip), loe, cit. (loco citato:dalam tempat yang telah dikutip dan ibid.
(ibidem : dalam tempat yang sama). Untuk pengulangan maka nama pengarang tidak
ditulis lengkap melainkan cukup nama familinya saja. Sekiranya pengulangan
dilakukan dengan tidak diselang oleh pengarang lain maka dipergunakan notasi
ibid.
Sekiranya
dalam kutipan kita dipergunakan seorang pengarang yang menulis beberapa
karangan maka untuk tidak membingungkan sebagai pengganti loc. Cit atau op.
Cit. Dituliskan judul karangannya. Bila judul karangan itu panjang maka dapat
dilakukan penyingkatan selama itu mampu menunjukkan identifikasi judul karangan
yang lengkap.
Dalam
catatan kaki maka nama pengarang dituliskan lengkap dengan tidak mengalami
perubahan apa-apa. Sedangkan dalam daftar pustaka nama pengarang harus disusun
berdasarkan abdjad huruf awal familinya. Tujuan utama dari catatan kaki adalah
mengidentifikasikan lokasi yang spesifik dari karya yang dikutip. Di pihak
lain,tujuan utama dari daftar pustaka adalah mengidentifikasikan karya ilmiah
itu sendiri. Untuk itu maka dalam daftar pustaka tanda kurung yang membatasi
penerbit dan domisili penerbit tersebut dihilangkan serta demikian juga lokasi
halaman. Dengan demikian catatan kaki (CT) nomor 1, 4, 5, 6. 9, 11, dan 13 bila
dimasukkan ke dalam daftar pustaka (DP) berubah sebagai berikut :
CT : Harold A. Larrabee, Reliable Knowledge
(Boston: Houghton Miffilin, 1964), hlm.
4
DP : larrabee, Harlod A. Reliable
Knowledge. Boston: Houghton Mifflin, 1994
Daftar
pustaka itu kemudian diurut berdasarkan huruf pertama dari nama famili
pengarangnya.
X
PENUTUP
32.
HAKIKAT DAN KEGUNAAN ILMU
Pada
waktu itu pengetauan-pengetahuan, termasuk juga ilmu, memang tidak mempunyai
kegunaan praktis melainkan estesis. Artinya seperti kita mempelajari main piano
atau membaca sajak cinta, maka pengetahuan semacam ini lebih ditujukan kepada
kepuasan jiwa, dan bukan sebagai konsep untuk memecahkan masalah. Ilmu sekadar
pengetahuan yang harus bisa dihafal, agar bisa dikemukakan waktu berdebat:
makin hafal lantas makin hebat! Pengetahuan yang dikuasai harus mencakup
bidang-bidang yang amat luas, agar tiap masalah yang muncul kita bisa ikut
menyambut, makin banyak maka makin yahut. Penempatan ilmu dalam fungsi estitis
pada zaman Yunani Kuno itu disebabkan filasafat mereka yang memandang rendah
pekerjaan yang bersifat praktis yang waktu itu dikerjakan oleh budak belian.
Adalah kurang pada tempatnya kalau kaum yang merdeka memikirkan masalah yang
tidak sesuai dengan status sosial mereka.
Kiranya
bahwa sajak atau nyanyian adalah fungsional bagi kehidupan kita, dan hal ini
tidak usah diragukan lagi, namun terdapat fungsi yang berbeda antara kedua
ungkapan seni tadi dengan teori keilmuwan, seperti perbedaan antara Hukum Boyle
dengan lagu Ebiet G.Ade. Lagu Ebiet umpamanya mengungkapkan masalah urbanisasi:
terkapar di tengah kota, berbekal tinggal sehelai sarung, namun malu balik ke
desa! Lagu ini mungkin menyadar kita kepada permasalahan yang merasuk ini,
berkumandang dan menggelitik nurani, yang membuahkan perubahan sikap dan
mungkin perilaku kita terhadap urbanisasi. Namun yang jelas kita tidak bisa
memecahkan masalah tentang urbanisasi hanya dengan menyanyi. Kita harus
melakukan tindakan-tindakan kongkret, tidak dengan membentuk vokal group, namun
melakukan serangkaian tindakan yang konsepsional berdasarkan pengetahuan yang
terandalkan. Buku teks ilmuwan ini tak jauh berbeda dari buku primbon dukun
ramal yang dipergunakan untuk konsultasi dalam memecahkan masalah-masalah
praktis. Paling pun berbeda adalah lingkupnya.
Jadi
buku-buku tebal ilmuwan pada hakikatnya adalah sama saja dengan buku-buku
primbon tukang ramal yakni menjelaskan, meramal dan mengontrol. Tentu saja yang
berbeda adalah asas dan produsernya: menjelaskan-meramalkan-mengontrol inflasi
kita mempergunakan asas dan prosedur keilmuwan, sedangkan
menjelaskan-meramal-dan-mengontrol telapak tangan kita mempergunakan asas dan
prosedur perklenikan. Dengan demikian tidak usah heran kalau dalam memecahkan
masalah-masalah kehidupan orang tidakselalu datang berkonsultasi kepada ilmuwan
melainkan kepada dukun. Keduanya melakukan fungsi sama meskipun dengan asas dan
prosedur yang berbeda. Pilihan di antara keduanya tergantung kepada kepercayaan
kita, artinya dalam memecahkan masalah kehidupan, apakah kita mempercayai asas
dan prosedur keilmuwan atau perklenikan. Tingkat kepercayaan seseorang dan
masyarakat memeng berbeda: kepercayaan seseorang tergantung kepada pendidikan,
kepercayaan masyarakat tergantung kepada kebudayaan.
KESIMPULAN
Filsafat ilmu berarti terus terang dengan pengetahuan yang dimiliki
diri sendiri sejak bangku dasar sampai pendidikan lanjut. Penalaran merupakan
suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Logika merupakan cara berpikir yang sesuai
dengan fakta, realita yang sebenarnya yang bisa diterima oleh orang lain. Ilmu
dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian
ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula. Ilmu merupakan
alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan ilmu adalah
mencari penjelasan dari gejala-gejala yang ditemukan yang memungkinkan untuk
mengetahui sepenuhnyanhakikat obyek yang dihadapi.
Penempatan ilmu dalam fungsi estetis pada zaman yunani kuno itu di
sebabkan filsafat mereka yang memandang rendah pekerjaan yang bersifat praktis.
Ilmu tidak berfungsi sebagai pengetahuan yang diterapkan dalam memecahkan
masalah kita sehari-hari, melainkan sekedar dikenal dan dikonsumsi. Jadi
buku-buku tebal ilmuwan pada hakikatnya adalah sama saja dengan buku-buku
primbon tukang ramal yakni menjelaskan, meramal dan mengontrol. Keduanya melakukan fungsi yang sama meskipun
dengan asas dan prosedur yang berbeda. Pilihan keduanya tergantung kepada
kepercayaan kita, artinya dalam memecahkan masalah kehidupan, mempercayai asas
dan prosedur keilmuan atau perklenikan. Kepercayaan seseorang dan masyarakat
memeng berbeda. Kepercayaan seseorang tergantung kepada pendidikan, sedangkan
kepercayaan masyarakat tergantung kepada kebudayaan.